Rey sampai di jembatan layang kotanya, memandang aliran air sungai yang seolah menarik masuk ke dalamnya.
"Astaghfirullah...kematian datang sendiri Rey, ngapain dijemput"
Rey mulai duduk memandang langit yang perlahan memerah jingga di barat. Seketika otaknya memutar kaset kusut rentetan kenangan bersama orang tuanya beserta kakaknya. Rey tersenyum.
Batu kerikil perlahan dilemparkan dari tangannya yang mengurus entah sudah berapa kilo, makannya sudah tak banyak lagi, perutnya terus kenyang sepanjang hari, tapi tipus menggerogotinya bulan kemarin, saat itu benar-benar semakin terasa ia sebatang kara.
Baca Juga: Mengeksplorasi Emosi Negatif dan Cara Bijak Menyikapinya, Sebagai Proses Pengembangan Diri
Keluarganya jauh di seberang pulau, orang tua memang merantau ke negeri sebrang mencari dan membentuk keluarga baru di pulau lain, meluaskan wilayah keturunan. Begitulah ucapan sang ayah dahulu saat menasihati Rey yang beranjak kuliah.
Betul saja, Rey memilih kampus yang jauh dari rumah memilih merantau, sebab ayahnya selalu bilang ketika merantau akan banyak digantikan Allah peranan-peranan orang di tempat asal.
Kapal pengangkut batu bara lewat di bawahnya, kosong, pikiran tengilnya mampu mengembangkan senyum, seketika ada ide loncat ke kapal, tapi tidak dilakukan, sebatas ide saja.
Dalam bayangannya, seorang bapak penjual rujak muncul tiba-tiba dari samping Rey sembari menawarkan dagangannya.
"Berapa pak?"
"10 ribuan aja, nak. Mau nak? Ada banyak macemnya"
"Boleh pak satu..."
"Alhamdulillah, sedari pagi ini yang kedua dagangan saya laku, nak. Terima kasih ya sudah beli"
