Sebutkan, negara mana di dunia ini yg tidak ada oligarki? Di mana ada penguasa, di situ pasti ada pengusaha.
Penguasa mencoba mengatur regulasi, dan pengusaha bernegosiasi. Yang salah bukan keberadaan oligarkinya, tapi yang salah adalah kalau tunduk, manut, dan nurut sama “perintah” oligarki.
10 tahun berkoalisi dengan SBY, PKS banyak ketemu oligarki. Belum lagi di daerah yang kepala daerahnya dipimpin PKS.
Apakah pada manut sama oligarki? Tidak. Apakah Prabowo akan nurut juga sama oligarki? Rasanya, jiwa patriotiknya sebagai mantan danjen kopasus menihilkan peluang itu.
Baca Juga: Info Pilkada 2024: Demokrat dan PKS Usung Didik Agus dan Gilang Dirga Untuk Kabupaten Bandung Barat
Berkoalisi sama KIM = Tidak tahan jadi oposisi
Oposisi atau koalisi bukan soal daya tahan, tapi soal daya juang. 10 tahun oposisi, PKS sudah memperjuangkan penolakan kenaikan iuran BPJS, penolakan sertifikasi khatib, penolakan RUU Omnibus Law, penolakan pemindahan Ibukota Negara, penolakan Tapera, penolakan RUU Daerah Khusus Jakarta yang meniadakan pilkada, penolakan tax amnesty dll.
Hasilnya? Kurang maksimal, bahkan bisa dikatakan “gagal”. Omnibus Law tetap disahkan, iuran BPJS tetap naik, ibukota tetap pindah.
Artinya, daya juang kalau jadi oposisi tidak optimal. Dengan koalisi, daya juang bisa di scale-up.
Jualan agama = PKS munafik
PKS adalah partai dakwah, yang lahir dari gerakan dakwah.
Otomatis, sebelum jadi parpol pun, PKS udah “jualan agama” dengan membawa pesan dakwah di masjid.
Membangun kajian-kajian keislaman, sekolah Islam terpadu, yayasan dakwah dll.
Pun ketika jadi parpol, karakter ini tidak hilang. PKS tetap berdakwah sambil berpolitik, atau berpolitik sambil berdakwah.
Yang disebut jualan agama itu misalnya, salah seorang kader PKS tiba-tiba muncul di iklan azan menjelang Pemilu atau Pilkada.