Apapun yang dikatakan gurunya ia selalu manut, ajaran -ajaran gurunya diserap tanpa di filter.
Dalam perjalanannya mengembara Candide selalu mengalami kemalangan dan pada saat itu pula ia mengingat gurunya, setiap kali ia bimbang tak bisa menyelesaikan masalahnya ia teringat gurunya.
“Seandainya Tuan Guru Pangloss ada di sini, ia akan memberikan nasihat yang baik dalam keadaan terjepit seperti ini, karena ia seorang ahli filsafat kawakan” begitu seterusnya, Candide tak pernah lepas dari ajaran gurunya bahwa dunia yang ada saat ini adalah dunia yang diciptakan dengan sebaik -baiknya.
Namun, berbeda dengan realitas yang kerap kali dihadapinya, dunia yang dalam ajaran gurunya sangat kontras dengan dunia yang disaksikannya; pembunuhan, pemerkosaan, penindasan, saling mendominasi.
Hingga di tengah diskusinya dengan Martin.
Candide melontarkan pertanyaan tentang dunia “Untuk apa dunia diciptakan” tanya Candide, “untuk menjengkelkan kita” jawab Martin.
Begitulah dunia yang dilihat selama pelayaran dengan Martin; kebrutalan, perampasan dan kesia-siaan.
Dalam perjalanannya ia bertemu lagi dengan Pangloss sang guru Filsafatnya, yang bertampang mengerikan karena menjadi korban penyakit kotor.
Gurunya menceritakan bahwa keluarga sang Baron porak-poranda; Baron dan istri serta putranya dibunuh.
Dalam kisah selanjutnya, tokoh -tokoh itu dipertemukan dan kemudian dipisahkan lagi dalam kondisi yang tidak menggembirakan karena mengalami berbagai bencana.
Terkadang masuk tokoh -tokoh baru yang membawa pikiran bertolak belakang dari ajaran yang dianut oleh Candide, misalnya tokoh Martin.
Ia berpendapat bahwa di dunia ini segalanya jelek, demikian juga si nenek yang melayani nona Cunegonde.
Tentu hal ini sangat bertentangan dengan keyakinan yang diyakini Candide bahwa semuanya baik didunia terbaik yang mungkin diciptakan.