"Bapak kira kamu kenapa-kenapa. Sejak pulang sekolah enggak keluar kamar. Kamu sakit?"
"Enggak papa, Pak. Lira cuma mau istirahat."
Lira berusaha tersenyum meskipun itu tidak membuat bapaknya untuk berhenti khawatir.
"Kamu enggak bohong sama bapak? Kamu baik-baik aja, Ra?"
Lira berusaha untuk tidak mengatakannya. Dia bersusah payah menyembunyikannya, tetapi entah mengapa setelah mendapat pertanyaan begitu mendadak Lira kembali menangis dan memeluk bapaknya.
"Lira enggak baik-baik aja, Pak. Lira enggak tahu harus cerita sama siapa lagi, cuma Bapak yang Lira punya. Setelah kepergian, Ibu."
Di depan kamarnya bersama bapak gadis itu, Lira menangis sejadi-jadinya.
Baca Juga: Puisi Rumah Tak Bertuan: Berisi Tentang Penantian Seseorang Menunggu Sosok yang Dia Cinta Pulang
Dia mengungkapkan semua kegelisahannya termasuk perlakuan teman-temannya di sekolah yang sudah merundungnya.
Perkataan mereka tentang Lira yang tidak bisa apa-apa, Lira gadis yang aneh, Lira si gadis anti sosial, dan Lira yang tidak pernah punya teman. Semua dia ceritakan pada bapaknya.
"Apa salah kalau Lira marah dan kesal sama mereka, Pak? Apa salah Lira sakit hati karena ucapan mereka, Pak?" ucap Lira di sela-sela tangisannya.
Bapak Lira mengusap punggung anaknya dengan pelan dan berusaha menenangkan gadis itu. Hingga perlahan Lira mulai merasa tenang dan berhenti menangis.
"Bapak tahu, pasti berat buat kamu, Ra. Kamu kecewa, kamu marah, kamu kesal, bapak tahu. Enggak mudah memaafkan orang lain dan mencoba menerima perlakuan orang ke kita."
Lelaki paruh baya itu berhenti sejenak dan menatap wajah anaknya dengan penuh kasih sayang.
Baca Juga: Cerpen Romansa Part 5: Cinta Seorang Suar untuk Hening Terekam Oleh Waktu, Terikat Janji Bersama