Sholat dzuhur telah selesai, raja Jawa tanpa mahkota itu menengadah tangannya ke atas, dengan penuh harap dan penuh kekhusyukan,’Ya Allah, Engkau Maha Penolong lagi Maha Kuasa, tolonglah setiap langkah kita untuk mewujudkan tujuan mulia ini, berikanlah kami petunjuk tentang hal-hal apa yang harus kita usahakan, hanya kepada-Mu lah kami meminta pertolongan.’
Air matanya mengalir deras setelah tangannya mengusap wajahnya, dengan harapan segala impian besarnya kelak terjadi.
Disela-sela kesibukannya memimpin Sarekat Islam, pria Jawa yang taat agamanya ini menyibukkan dirinya membaca banyak buku.
Buku-buku karangan pemikir Muslim di Timur Tengah maupun khazanah Barat dilahapnya dengan sangat rakus.
Majalah Al Manar yang mempunyai kantor cabang di Singapura juga menjadi bacaan favoritnya.
Buku yang banyak memberikan informasi dan pengetahuan memandunya untuk bergerak.
Baginya, membaca buku tanpa aksi nyata adalah omong kosong.
Bergerak tanpa membaca buku sebuah kesia-siaan. Kedua-duanya harus seimbang.
Meskipun dia masih keturunan priyayi Jawa, namun dia tidak berpangku tangan menikmati segala kehormatan palsu.
Di luar sana, banyak rakyat yang ditindas sekaligus disiksa. Penderitaan rakyat memanggilnya untuk terjun ke lapangan.
Semua dilakukannya dengan penuh ketulusan dan ridho illahi.
Tak ada niat cari panggung demi decak kagum banyak orang.