“Alhamdullilah makasi ya nak kamu masih aja seneng sama makanan Mama.” Masakan Mama juara.” Ujar kami bertiga. Aku melayangkan senyum kepada keluargaku.
“Selamat Datang, Bahagia... Sungguh ku hanya berharap yang ku cinta datang untuk menebus waktu yang hilang.. “ Bacaku dari Buku Puisi “Lembar Rasa” halaman 39 yang di depan bukunya bertuliskan namaku.
“Itu Mas Jannatanya udah dateng. Bacain lagi dong coretan-coretan kamu. La, kamu sibuk berkarya aja. Jangan banyak pikiran nanti makin bercak loh!” wa Sasti malam itu berkali-kali. “Iya bawel.”
Sahutku menutup wa ke sahabatku. Aku beranjak ke kamar mandi dan menemukan bercak2 itu lagi ketika aku habis buang air kecil. Akhir-akhir ini memang ku selalu mendapatkan bercak-bercak. Ku segera mengambil air wudhu dan ku bentangkan sajadahku. Serta merta ku puja puji Allah dan ku rasakan kedamaian yang hakiki
Mataku belum juga tertutup walau lampu telah kupadamkan. “Nak, belum bobo? lembut Ambu menyeringai dari balik pintu kayu. “Biasa insom ma.” Santaiku. Yang baik-baik ya Ma sama Papa.” Sahutku sambil melihat bola matanya.
Mama masuk ke dalam kamarku dan duduk di pinggir kelambu. “Yang selalu bikin Mama bertahan iya cuma kamu dan Lafy. Semua yang Mama usahain dari mulai merangkai bunga, jual lukisan, jual mebel, sewa galeri barang antik di Kemang dan Bali, seluruhnya demi kamu sama Lafy.” Iya, makasi ma. Papa juga selalu dukung Mama kan ma?” Iya.” Jawabnya lirih.
“Kita juga mesti bersyukur karena Allah masih selalu kasi kita kesehatan dan kesibukan. Mama Papa masi bisa makelaran jual rumah. “Alhamdullilah.” Sahut Papa dari balik pintu. Aku merasa bahagia malam itu karena kehangatan meliputi rumah kecil kami.
Baca Juga: Hih Jorok Banget! Cerpen Cita Nino: Meskipun Libur Harus Mandi Pagi, Siapa yang Sering Malas Mandi?
Besok senja sepulang dari mengajar les matematika anak-anak tk dan sd, Mama dan Papa menyambutku dengan suka cita dengan memasakkan aku lele. “Mah, aku mau periksa ke dokter karena aku bercak-bercak terus. “sahutku kepada Mama selesai makan malam. “Bismillah ya Inshaa Allah semoga kamu baik-baik aja. “Aamiin banget makasi ma.”
“Hey jagoan aku, kamu tenang ya Inshaa Allah orang sekaliber kamu ga kenapa-kenapa. Aku selalu inget kamu itu seberuntung itu loh! Kamu selalu gampang bikin orang di sekeliling kamu nyaman dan percaya sama kamu.” Hibur Mas Janata di wa.
“Aamiin makasi yang semoga kita selalu dalam lindungan Allah. “Gimana hari kamu yang? Sahutku. “Alhamdulilah hari ini kawan-kawan kita ya pada beli kaos sablonan kembaran, sambel kita dan daging serta bakso kita. “Alhamdullilah ya yang doa aku selalu mengiringi usaha kamu.” Sahutku mengakhiri wa.
“Kak ayo pulang. Kita udah nunggu kamu nih.” Senja sepulang aku mengajar aku dikagetkan oleh kedatangan Lafy, Mama dan Papa.
Mereka mengantarkan aku ke dokter untuk memeriksakan bercak-bercak ku. Sebenarnya tidak sakit tapi aku memutuskan ke dokter karena aku ingin menikah dengan Mas Jannata dan memastikan Inshaa Allah aku sehat.
“Biopsi.” Sahut Dokter. Satu kata yang membuatku takut tapi aku tahu aku harus berdamai dengan kekuatiranku.
“Skak.” Sahut Mas Jannata di beranda rumahku sepulang aku dari dokter. “Kamu mau ngalahin aku yang?.” Candaku sambil berusaha menahan airmata karena aku takut dengan hasil biopsinya.