Dalam surah Ath-Thalaq ayat 7, Allah Ta’ala berfirman:
لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِۦ ۖ وَمَن قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُۥ فَلْيُنفِقْ مِمَّآ ءَاتَىٰهُ ٱللَّهُ ۚ لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَآ ءَاتَىٰهَا ۚ سَيَجْعَلُ ٱللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا
Artinya: Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.
“Allah Ta’ala tidak akan membebani seseorang di luar batas kemampuannya,” pungkas Mamah Dedeh di acara bertajuk Rumah Mamah Dedeh ini.
Nafkah yang diberikan suami meliputi berbagai aspek kehidupan keluarga, seperti tempat tinggal yang layak, makanan yang cukup dan bergizi, pakaian yang sesuai, serta biaya pendidikan dan kesehatan.
Baca Juga: Jangan Mau Kalau Diajak Nikah Siri, Ini Nasehat Mamah Dedeh: Jadi Perempuan Punya Harga Diri
Semua kebutuhan ini harus dipenuhi oleh suami agar keluarganya dapat hidup dengan layak dan sejahtera.
Nafkah bukan hanya sekadar pemenuhan kebutuhan materi semata, tetapi juga merupakan bentuk kasih sayang dan tanggung jawab seorang suami terhadap keluarganya.
Dalam Islam, nafkah memiliki kedudukan yang sangat penting. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda bahwa hal inilah yang akan dipertanyakan kepada seorang laki-laki pada hari kiamat.
“Seorang suami adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban atas keluarganya.” (HR. Bukhari no. 844)
Dikutip GENMUSLIM dari buku Zadul Ma’ad, Ibnu Qayyim menyatakan bahwa, “Sudah menjadi ijma ulama bahwa suamilah yang bertanggung jawab memberi nafkah keluarga, bukan istrinya.”
Jika seorang suami enggan memberikan nafkah kepada istrinya, maka ia akan berdosa di hadapan Allah Ta’ala.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Cukuplah bagi seseorang untuk mendapatkan dosa bila ia menahan makanan dari orang yang berhak mendapatkan makanan darinya.” (HR. Muslim no. 996)
Dalam kondisi yang sangat mendesak, bahkan istri diperbolehkan untuk mengambil sebagian harta suaminya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.