Sikap Islam Terhadap Minoritas, Sebuah Argumentasi Cerdas dari Buya Hamka Melawan Tuduhan Orientalis (Part 3)

Photo Author
- Minggu, 3 September 2023 | 12:05 WIB
Gambar Buya Hamka, sosok cendekiawan Islam, yang cerdas dan tajam dalam mengkritik orientalis (GENMUSLIM.id/dok; Instagram/@rakbuku_kotabiru)
Gambar Buya Hamka, sosok cendekiawan Islam, yang cerdas dan tajam dalam mengkritik orientalis (GENMUSLIM.id/dok; Instagram/@rakbuku_kotabiru)

GENMUSLIM.id - Kecerdasan Buya Hamka dalam menepis tuduhan serampangan yang dilayangkan orientalis terhadap umat Islam bisa dibilang sangat berhasil, yang mebuktikan juga kedalaman ilmunya.

Tema utama dalam pemikiran Buya Hamka ketika mengkritik orientalis dalam bab ini ialah bagaimana menghadirkan sebuah episode sejarah Islam ketika berkuasa, bisa menampung dan memimpin masyarakat yang majemuk tanpa meminjam ide-ide Barat.

Refleksi dan analisis yang tajam dari Buya Hamka ini layak dibaca oleh umat Islam di Indonesia, bahwa ketika Islam yang dicitrakan buruk, despotik, brutal, intoleran oleh orientalis, bisa ditepis asal mempunyai keinginan kuat dalam belajar Islam dengan runtut dan benar.

Baca Juga: Sikap Islam Terhadap Minoritas, Sebuah Argumentasi Cerdas dari Buya Hamka Melawan Tuduhan Orientalis (Part 1)

Sebagaimana dihadirkan sejarah Islam awal, ketika Yahudi Madinah dianggap sebagai warga negara yang berhak dilindungi harta dan nyawanya, sebagaimana juga ketika bisa berhubungan dengan baik dengan umat Nasrani, selama tidak menyangkut masalah akidah dan ibadah, umat Islam tetap bisa berhubungan baik di ranah muamalah atau sosiologis.

Artinya, semacam terdapat sikap proposional yang keren, unik, dan indah, dalam ranah akidah dan ibadah umat Islam tegas, dalam ranah muamalah atau sosiologis kita bisa saling menghormati.

Di dalam buku Keadilan Sosial dalam Islam, Buya Hamka mengatakan ketika di masa Kekhalifahan Abu Bakar yang hendak mengirim tentaranya untuk melawan tentara Romawi di Palestina, beliau berpesan dengan sangat kepada kepala tentara Islam supaya tidak menebang pohon kayu berbuah, tidak mengganggu binatang ternak, cukup diambil sekadarnya untuk dimakan, dan tidak mengganggu rahib yang sedang tekun beribadah.

Baca Juga: Makna Filosofis Tembang Gundul-Gundul Pacul Karya Sunan Kali Jaga dalam Kehidupan Bernegara

Karena negara mesti dibiayai, umat Islam diwajibkan membayar zakat, sedangkan pemeluk non-Muslim, baik Nasrani maupun Yahudi membayar jizyah.

Menjalankan pemungutan jizyah pun dilakukan dengan sikap kebijaksanaan, bukan serampangan.

Ukuran jizyah tidaklah tetap, melainkan menurut kesanggupan suatu negeri, bahkan ada yang tidak mau dinamai pembayaran pajak sebagai suatu jizyah, yaitu Nasrani Bani Taghlap.

Mereka mengatakan, bahwa mereka memeluk agama Kristen, namun mereka bukan bangsa Roma dan bukan pula sebagai kaum Yahudi yang keturunan Israil, mereka Arab sejati.

Baca Juga: Sejarah Westernisasi di Jantung Kekhalifahan Turki Utsmani, Salah Satu Periode yang Mengguncang (Part 3)

Mereka tak masalah jika harus membayar jizyah, dan juga tidak keberatan kalau pungutan jizyah serupa dengan pungutan zakat.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Muhammad Reza Nurcholis, S.Si

Sumber: Keadilan Sosial dalam Islam, Buya Hamka

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Terpopuler

X