Kebas menjalar di hati ku. Ya Allah, apa yang terjadi pada suami ku? Mas Bagas ku.
"Dek. Mas minta maaf dek. Mas salah. Mas minta maaf." Dia mengulang kata-kata itu sambil sesenggukan. Masih memeluk kaki ku.
Pemandangan ini menyayatku tanpa ampun. Ku gerakkan tubuh ku ikut bersimpuh bersamanya.
"Mas. Mas kenapa? Mas jangan seperti ini Mas. Kita masuk dulu ya."
Mas Bagas menggeleng keras kepala. Tangannya masih memeluk kaki ku yang kini terlipat.
"Mas ngga mau ditinggalin kamu Dek. Mas ngga sanggup. Mas coba itu sebulan ini dan Mas ngga sanggup.
Mas lebih memilih ngga bersama Ruli atau siapapun di luar sana asal bukan ngga bersama kamu Dek."
Aku tersentak. Sesuatu di dadaku berdesir. Aku melihat dengan jelas bagaimana putus asa dan rapuhnya Mas Bagas saat ini.
"Mas kita sedang meloloskan mu dari mendekati zina."
Lagi Mas Bagas menggeleng kuat. "Enggak Dek enggak. Mas bahkan tidak lagi melihat Ruli seperti sebelumnya sejak kamu pergi. Mas kosong Dek.
Tanpa kamu. Senyum kamu, suara kamu, kasih sayang yang kamu beri untuk Mas. Semua terputar seperti kilasan yang menertawakan kebodohan Mas, Dek."
Aku memeluk tubuh Mas Bagas yang bergetar. Suami ku itu masih menangis sesenggukan.
"Ya Allah, besarnya dosa Mas menyakiti hati mu Dek. Mas harusnya sadar, Mas bukan Nabi. Mas tidak memikirkan perasaan mu.
Mas tidak membayangkan seandainya kamu mau dimadu, apa Mas bisa bersikap adil. Adil menurut Mas belum tentu adil bagi kamu.