Dengan sigap aku bangkit, meraih ponsel dan memesan taksi.
Sedikit tidak tega, aku membangunkan Nilam. Memakaikannya gamis dan hijabnya.
Mengepak beberapa pakaian dan keperluan yang mungkin ku butuhkan selama menginap di rumah orang tua ku yang entah untuk berapa lama.
Pesan masuk dari supir taksi yang ku pesan. Ku langkahkan kaki keluar kamar sambil menggandeng Nilam yang mulai merengek karena tidurnya terganggu dengan kehebohan yang ku buat.
Menuju ruang tamu, aku mendapati Mas Bagas masih duduk di sana. Kepala suami ku itu tertunduk lemah.
"Jihan berangkat Mas."
Dia tersentak saat mendengar suara ku. Ku angsurkan tangan meminta tangannya dan mencium khidmat, lalu beranjak pergi.
***
Seminggu berlalu dari kejadian malam itu. Nilam merasa senang saja selama di rumah neneknya.
Sesekali dia bertanya tentang kenapa ayahnya tidak bersama mereka yang selalu ku jawab bahwa ayahnya sibuk.
Hal itu justru menyakiti ku lebih dalam. Karena tidak tau bagaimana menjelaskan situasinya pada anak umur enam tahun yang beberapa bulan lagi akan masuk sekolah.
Seperti tau bahwa aku sedang terguncang, kedua orang tua ku bungkam. Mereka menghargai ku dengan tidak bertanya.
Mereka tau saat sudah siap, aku pasti bicara. Dan akhirnya kulakukan malam itu.