"Dek, Mas mohon ijin. Padamu, Jihan Kurnia Abimana. Bolehkah Mas menikah lagi? Bolehkah Mas memperistri Ruli?"
Saat itu juga aku bisa mendengar kehancuran di dalam diri ku. Sendi ku mati seketika. Napas ku tercekat di tenggorokan.
Dengan sisa kesadaran yang ku punya, ku paksa diriku bernapas normal. Sekuat tenaga meredam rasa sakit guna tetap bersikap tenang.
Saat aku yakin sudah menemukan cara untuk berbicara dengan benar, ku tarik napas dalam. "Bisa Mas kasih waktu Jihan berpikir?"
Sorot cemas jelas tercetak di matanya. Sikap tenang ku mungkin bukan hal yang dia bayangkan. Tapi percayalah, aku sedang berdarah-darah di dalam sana.
Setelah memandang ku cukup lama, dia mengangguk.
Aku memaksakan seulas senyum. Butuh usaha cukup besar untuk melakukan hal itu.
"Kalau begitu, bolehkah Jihan izin ke rumah ibu sambil berpikir, Mas?"
Genggaman tangannya mengencang. Dia menatapku memohon, tapi untuk saat ini yang ku butuhkan adalah menjauh darinya. Agar bisa lebih tenang mengambil keputusan.
Melihat ku bergeming, dia akhirnya mengangguk lemah. "Mas antar ya."
Baca Juga: Inilah Doa Untuk Orang yang Sakit Hati, Ustadz Hanan Attaki: Mintalah yang Baik-Baik Meski Terzalimi
Aku menggeleng padanya. Senyum itu masih ada di wajah ku. "Kali ini, tolong biarkan Jihan sendiri dulu ya Mas."
Dia merasa tidak rela. Aku melihat dari sorot matanya. Tapi aku lebih tidak mampu berdekatan dengannya lebih lama lagi.
Dia menghela napas dan mengangguk lagi.