Salima mengambil nafas sejenak, lalu menjawab pertanyaan Jaksa.
“Iya benar,” jawabnya tegas tanpa rasa takut.
“Anda mengakuinya? Kalau begitu persidangan ini akan cepat selesai,” tegur jaksa sambil tersenyum sinis.
“Kalau begitu untuk apa ada bukti dan saksi? Saya akui, saya melukainya, tetapi mohon pak Jaksa periksakan mata Bapak, di bagian mana kaki preman itu yang sekarang dibalut dan di bagian mana saya melukainya. Rasanya seperti menonton sinetron,” jawab Salima satir.
“Wah, Saudari mengajari saya menjadi seorang jaksa?” tanya pria itu merasa tersinggung.
“Apa lagi? Contohnya sekarang ini, anda lebih fokus pada ucapan saya yang menyinggung perasaan Bapak, bukankah seharusnya Anda fokus pada ucapan saya yang mengatakan di bagian mana kaki preman itu dibalut, karena bagian yang saya lukai berbeda,” timpal Salima lagi menambah jengkel sang Jaksa.
Tepat ketika Jaksa akan bicara, Pak Hakim mengingatkan untuk mengondisikan jalannya persidangan.
Beliau memerintahkan untuk menyetel bukti video amatir yang menayangkan kronologi kejadian dari saat preman itu menendang Pak Dedi sampai berduel dengan Salima.
Saat video itu ditayangkan, tampak si Jaksa sedikit menyipitkan mata untuk mengamati saat-saat Salima menghunuskan pisau ke arah Ato, si preman.
“Baik, memang tampak seperti di betis ya, tapi bukti-bukti medis menyatakan kalau lukanya memanjang sampai ke urat pergelangan kaki,” ucap Pak Jaksa sambil melihat dokumen di mejanya.
“Pasti duit tuh, duit!” celetuk seorang hadirin membuat riuh lagi suasana di ruang sidang.
“Tukang palak, pasti bohong!” timpal seorang ibu-ibu yang juga sudah mulai geram. Jelas-jelas Salima melukai betis bawah preman itu, tetapi bukti yang dibacakan berbeda dengan kenyataan.