Mama yang mendengar nasihat Papa seketika mau tertawa atas kecemburuan Nino itu.
Dengan bujukan mama yang akhirnya menyusul kak Riri ke kamar, mereka mencari keberadaan burung tersebut.
Mereka mencari cukup lama dan memakan banyak tenaga karena mencari berkeliling lingkungan kompleks dengan cara berjalan kaki.
Pencarian mereka berakhir di bendungan ujung kompleks.
Seperti telah ditakdirkan Allah, Nino melihat burung itu terbawa arus bendungan yang sontak membuat kak Riri bergegas turun melihat.
Ketika diambil, benar itu Viu, namun sudah tidak bernyawa.
Kak Riri seketika menangis, deras air mata mengalir dan memandang Nino seperti akan memakannya saat itu juga.
Tentunya, tidak ada yang dapat dilakukan Nino kecuali tertunduk lesu dan meminta maaf.
Baca Juga: Menolak Cinta, Cerpen Cita Nino: Tak Tega Tapi Tau Tak Bisa, Lalu Bagaimana?
Permohonan maaf Nino kali ini tidak terkabul, sebab kak Riri memilih berlalu dan mengabaikan ucapan adik semata wayangnya tersebut.
Mama dan Papa yang melihat hal tersebut berusaha mencairkan suasana dengan Papa mengikuti Kak Riri dan Mama menghibur Nino.
Ucapan bahwa kak Riri tidak marah kepadanya seolah percuma, Nino malah menangis ketika diajak bicara oleh mama.
Benar merasakan sangat bersalah kepada kakaknya, Nino mengajak Mama menyusul papa dan kak Riri.
Sesampainya dir rumah, kak Riri lebih dulu dibanding Mama, Papa dan Nino.
Ia bergegas mengambil sekop kecil untuk berkebun milik Papa dan Nino untuk mengali tanah kubur Viu.
