GENMUSLIM.id - Usai satu tahun berlalu dengan kesendirian di tempat yang sangat jauh, Aini kii pulang tanpa memberitahukan terlebih dahulu kepada kakak dan ibunya di rumah.
Bukan kemauannya dengan kesendirian dan tidak bilang lagi akan kepulangannya, melainkan jadwal dipercepat tidak sesuai dengan tanggal yang dikabarkan Aini ke rumah.
Aini berhasil menemukan banyak pembelajaran di Banda Neira dengan sejuta hal yang di luar ekspektasinya, ia bersyukur dan membenarkan ungkapan Bagas. Semua yang ada di kampung halaman akan digantikan oleh Allah.
Baca Juga: Masa kesendirian Aini, Titik Balik Menemukan Cinta yang Sebenarnya, Series Aini: Belum Usai
Masa sulit ia harus menangis dengan rasa makanan yang berbeda, atau tempat mandi yang sulit baginya, belum lagi bahasa di sana yang tidka mudah untuk ia pahami, banyak hal yang akhirnya ia syukuri dengan sangat sudah diberikan Allah sempat tak terhingga.
Meskipun begitu Aini yakin akan merindukan semua hal yang ia pusingkan dan tangisi itu. Bukannya begitulah siklus kehidupan, ketika kita membenci sesuatu jangan terlalu, pun jika kita menyukai sesuatu maka jangan berlebih.
Langit sudah gelap kini saat ia sampai pada daratan sumatra, tempat ia tumbuh dan besar, rasanya ia merindukan semua kebisingan kota dan bicara yang nampak seperti marah.
Kesendirian Aini jauh dari semua hiruk pikuk kota membuatnya sadar bahwa tidak seburuk itu untuk terus berada di kota, ia merindukan sungai yang mengalir, di sana lautan biru selah membosankan setiap hari menyapanya.
Baca Juga: Masa Kesendirian Aini, Titik Balik Cinta yang Sebenarnya, Series Aini: Penerimaan
Belum lagi apa-apa yang jadi kesukaannya makanan dan semua hal di kota dengan kenangan ini. Kesedihannya sudah menguap dimakan waktu, mencintai kehilangan menjadi titik semangatnya dalam menentukan semua hal baik dan buruk dalam langkahnya.
Entah di titik mana kesendirian itu akan berakhir dalam hidupnya menemukan pelabuhan yang entah dimana. Dalam kemacetan jalanan kota dan lampu yang menyinari hingga menembus kaca mobil, Aini sejujurnya memikirkan waktu yang berlalu, bersaing dengan orang lain yang telah lebih dulu menemukan partner menuju surganya.
Di sisi lain, Aini tidak terlalu menggubris kebisingan kepala dan orang-orang yang menyuruhnya segera menikah, tetapi di sisi ibu yang sekarang tak lagi muda, ia telah kehilangan harapan menyaksikan sang ayah menjabat tangan pemilik tanggung jawab hidupnya hingga akhirat, tak ingin rasanya terjadi sama.
Tiada yang ia lihat imamnya kelak hanya mencium tangan dan memohon izin hanya kepada kakaknya semata, batu nisan yang mereka datangi, ia ingin ibunya menyaksikan dengan hikmat dan dapat membantu nya menilai lelaki yang datang ke rumah baik atau tidak.