Baca Juga: Puisi Di Gerbong Kereta Itu: Berisi Tentang Seseorang yang Berusaha Mencintai Jalan Hidupnya
"Bukan."
"Terus apa? Jangan buat aku bingung, deh. Awas aja kasih jokes bapak-bapakmu yang receh itu, Mas! Aku lempar pake buku ini."
"Enggak, ini serius. Kamu mau tahu? Bilang aku ganteng dan keren dulu," ucapku yang langsung membuatnya melotot kesal.
"Aku lempar beneran, lho, Mas! Inget umur enggak malu apa udah punya dua anak bujang."
Baca Juga: Info Loker Agustus: Segera Daftar Lowongan Kerja di Wings! Buka 5 Posisi, Cek Informasinya di Sini
Aku hanya terkekeh kecil, gemas melihat tingkahnya.
"Kamu ini enggak bisa apa lihat suami senang sedikit, Ning. Oke aku kasih tahu, aku suka nulis itu biar aku bisa selalu hidup sama kamu. Selamanya." Aku berhenti sejenak dan membuat perempuan itu menatapku.
"Karena aku bisa menulis tentang kamu, tentang kita, juga tentang Bumi dan Rangin. Karena cuma dalam tulisan kisah kita enggak akan pernah mati akan selalu hidup dalam setiap kata dan kalimat yang aku tulis dengan hati juga cinta. Meskipun kelak raga kita sudah enggak bersama."
Aku menatap Hening begitu dalam sampai aku bisa merasakan bahwa perempuan itu juga menatapku dengan perasaan yang sama. Aku selalu cinta padanya dan tak pernah berubah.
"Kamu selalu aja, ya. Buat aku pengen nangis. Bukan karena sedih, tapi bahagia aku punya sosok kayak kamu di hidupku."
"Sama-sama. Aku anggap itu ucapan makasih, ya, Ning. Asal kamu tahu, Ning, selama hidupku aku akan berusaha dan berjanji untuk enggak melukai apalagi mengkhianati. Aku akan selalu cinta kamu apa pun yang terjadi hari ini, besok, dan selamanya."
Aku menggenggam tangannya dan kami berdua tertawa bahagia untuk ke sekian kalinya.
"Udah selesai kan, di sini? Kita ke tempat lain, yuk!" ajakku pada Hening setelah selesai di toko itu.