“Waduh- bagaimana ya, mmm... saya tidak punya uang untuk bayar Psikolog,” aku Bapak pelan.
Pemahaman Arjuna melihat dua orang di depannya kini semakin jelas.
Tak hanya sang anak yang terguncang secara psikologis, tetapi keduanya pun terguncang secara ekonomi.
Cara bicara Bapak yang semakin pelan ketika mengatakan tak punya uang, menunjukkan rasa minder sekaligus malu karena secara ekonomi tak mampu membayar seseorang untuk membela satu-satunya putri yang ada.
Ponsel polisi itu berdering. Arjuna mengatakan kalau Salima sudah bisa dibawa pulang dan menunggu kabar selanjutnya di rumah.
Selama di perjalanan, tidak ada satu pun yang berbicara hingga mereka tiba di sebuah pelataran rumah sederhana.
“Terima kasih, Pak, sudah mau repot mengantar kami,” ucap Pak Dedi.
“Tidak apa-apa. Jangan lupa, untuk sementara ini Bapak dan Salima tidak boleh meninggalkan desa sampai pemberitahuan selanjutnya. Dek Salima wajib lapor setiap hari untuk-,”
“Ya, ya, saya paham, Pak!” ujar Bapak menyela ucapan Arjuna. Polisi itu kemudian pamit undur diri.
Baca Juga: Cerita Bersambung Roman Islami : Pudarnya Rasa Takut Salima – Putusan Hakim di Persidangan (Part 4)
Bu RT dan Pak RT yang melihat kepulangan Salima dan Pak Dedi segera mendekat untuk mengetahui kondisi Salima.
Salima masuk kamar dan Pak Dedi yang bicara dengan pasangan RT tersebut.
Sesekali Bapak mengurut kakinya yang masih sakit akibat tendangan si preman. Dia bukan lupa pada sakitnya, tetapi sakitnya tadi sempat tak terasa melihat kondisi putrinya.
Pak RT segera menelpon tukang urut untuk datang, tak peduli bagaiamana pun Pak Dedi menolak.