Kamu Bisa Berbohong? Nino Juga, Cerpen Cita Nino: Berbohong, Berbagi, Berkah, Tapi Nino Nyesel, Kamu Jangan Ya

Photo Author
- Selasa, 15 Agustus 2023 | 10:20 WIB
Nino Bohong, Menyesal Kemudian ((Foto: GENMUSLIM.id/dok: Desain Canva))
Nino Bohong, Menyesal Kemudian ((Foto: GENMUSLIM.id/dok: Desain Canva))
 
 
GENMUSLIM.id - Kamu Bisa Berbohong? Nino Juga Bisa, Cerpen Cita Nino: Berbohong, Berbagi, Berkah, Tapi Nino Nyesel Loh, Kamu Jangan Ya!
 
Pada setiap pagi, selalu saja membuat keributan kecil yang akan selalu dirindukan di rumah, termasuk Nino.
 
Mencari barang sekolah atau hanya memerintahkan untuk memakan sarapan, orang tua selalu begitu terlebih ibu atau dalam cerpen ini adalah mama Nino yang tidak lelah memintanya sarapan setiap pagi.
 
Tidak seperti setiap pagi biasanya, Nino telah bangun di pagi buta di hari pertama kembali bersekolah.
 
Ayam belum menyuarakan nyanyiannya, matahari belum memamerkan sinarnya, dan bahkan mama belum keluar dari kamarnya untuk memasak sarapan setiap pagi, tetapi Nino telah berjalan ke sana ke mari mencari di mana letak sepatunya.
 
“Mama…sepatu Nino hilang”
 
 
Begitulah panggilan panik Nino yang berhasil membuat seisi rumah keluar dari kamar dan menuju sumber suara. 
 
Mata Nino merah dan sudah siap tumpah linangan air mata dari pelupuknya, menceritakan apa yang telah terjadi dan kebingungan yang dialami bukan main-main. 
 
Mama lebih panik, mengelilingi dan melihat semua penjuru rumah yang biasanya setiap pagi dibersihkan-nya telah habis berantakan disebabkan pembongkaran Nino.
 
“Nino ngeletakinnya di mana memang kemarin sebelum libur?” Papa yang memahami mama telah gemas dengan kondisi rumah yang diakibatkan Nino, langsung segera mendekati anak laki-lakinya tersebut untuk mendengarkan penjelasannya.
 
“Nino letakinnya di lemari sepatu Pa, tapi sekarang gak ada Nino liat” ucap Nino terisak.
 
“Nino gak cuci sepatu kemarin?” Nino menggelengkan kepala menjawab pertanyaan Papa.
 
 
Mama dan Papa, serta Kak Riri segera menyusuri seluruh rumah, barang kali ada celah rumah yang terlewatkan Nino, sebab rasanya tidak mungkin hilang begitu saja. Itu di pikiran mereka bertiga.
 
Satu jam berlalu, jam telah menunjukkan ke angka enam lewat lima belas dengan diisyaratkan seiring matahari yang cukup tinggi. 
 
Kak Riri memilih mengakhiri pencarian dan disusul Papa yang semuanya harus bersiap-siap untuk melakukan aktivitas rutin. 
 
Tinggallah Mama yang mencari dan lima menit kemudian ikut menyerah untuk sekadar meletakkan sarapan di atas meja berupa roti tawar.
Mengingat kembali saat ia membereskan lemari sepatu, ia merasa masih ada sepatu itu kemarin pagi. 
 
Sayangnya, ingatan Mama tidak bisa dibuktikan saat ini, tidak ada tanda-tanda adanya sepatu Nino dan ia benar-benar kehabisan akal untuk mencari letak di mana lagi.
 
“Nino gunain sepatu yang lama aja ya, masih bagus cuma pudar warnanya aja, nanti kita coba cari lagi dan kalau beneran gak ada, Mama janji akan ganti sepatunya”
 
 
“Iya, kan gak mungkin Nino gak sekolah  karena gak ada sepatu?” ucap Papa yang telah siap dengan pakaian rapinya untuk pergi ke kantor.
 
“Kamu jual ya, No, sepatu itu!”
 
“Mana ada, siapa yang mau beli” Kak Riri hanya tertawa mendengar Nino tanpa tahu anak kecil itu belum memahami soal jasa 'trift' yang rela berebutan membelinya. 
 
Kak Riri dan Nino berjarak 5 tahun yang saat ini Nino telah berada di kelasa 6 Sekolah Dasar.
 
Nino hanya cemberut mendengarkan tawa jahat sang kakak yang lanjut berlari makan roti untuk masuk bis sekolah yang telah memberikan klakson sebagai tanda siap di depan menjemput Kak Riri.
 
“Riri, makannya duduk!”
 
“Iya Ma, assalamu’alaikum Ma, Pa” salam Riri dijawab dengan berbarengan, termasuk oleh Nino meski dengan rasa masih jengkel di hati karena ejekan kakaknya itu.
 
 
Papa siap dengan mobilnya dan mengisyaratkan Nino untuk pergi bersamanya, sebab jam telah menunjukkan hampir pukul tujuh dan sekolah Nino mengalami bel 07.15 WIB.
 
“Senyum sayang, jangan cemberut gitu” ucap mama yang diiringi senyum terpaksa Nino. 
 
Kakinya melangkah menuju mobil dan melaju tidak lama kemudian dengan lambaian tangan mama mengiringi, usai itu pintu tertutup sebagai tanda mama kembali masuk ke rumah. 
 
Di rumah, mama kembali mencari sepatu Nino ke semua penjuru, tanpa terkecuali kamar Nino. 
 
Ketika kamarnya dibuka dan mencari sepatu tersebut, Mama menemukan sesuatu dan tersenyum sembari memejamkan mata, menarik napas menenangkan perasaannya. 
 
Sementara di sekolah Nino, Riko dan Roni heran kenapa sepatu  Nino seperti sepatu lama, bukannya ini ajaran baru yang harusnya semua baru. 
 
 
Ucapan tersebut dari Roni dan Riko dengan sigap menyatakan tidak sepakat atas ucapannya, sebab ia setiap tahun tidak pernah ada barang baru kecuali memnag sudah tidak bisa digunakan lagi sama sekali.
 
Nino hanya mendiamkan perdebatan teman-temannya itu dan bergegas pergi ke lapangan untuk mengikuti upacara. 
 
Semua berlalu begitu saja, hari pertama semester genap tidaklah terllau sibuk dengan tugas. 
 
Dilakukan penyesuaian dan pengingat bahwa segera mereka akan melakukan ujian kelulusan sekolah dasar yang kurang lebih empat bulan lagi menemui mereka.
 
Seiring dengan matahari semakin di atas kepala dan berpindah sedikit ke barat, jam telah hampir menunjukkan pukul 14.30 WIB.
 
Bermodalkan ojek online yang telah dipesankan mama, Nino pulang dan melihat di rumah telah tersedia sepatu baru, senang bukan main Nino melihat sepatu tersebut dan menggunakan secepatnya menandakan bahwa kakinya pas memakai sepatu tersebut.
 
 
Rasa-rasanya malam saat itu lambat sekali berjalan, Nino tidak sabar lagi memakai sepatu barunya dan menunjukkan kepada teman-temannya dengan senang hati.
 
Bahkan esok harinya, belum genap azan di masjid depan rumahnya berbunyi dan papanya baru akan membangunkannya mengajak jamaah di masjid, Nino telah siap mandi dan menggunakan pakaian sekolah.
 
“Ha..ha…ha kamu semangat sekali untuk ke sekolah, bahkan Papa baru mau membangunkan Nino untuk ke masjid subuh berjamaah”
 
“Oh iya he he he…tapi Pa, baju Nino sudah baju sekolah” Papa bergegas mengambil sarung anak laki-lakinya itu dan memintanya menggunakan meski dengan setelan baju putih rapi yang telah digunakan.
 
Nino dan papa pergi ke masjid yang tidak jauh dari rumahnya, di sebelah masjid ada lapangan besar yang biasa digunakan anak-anak bermain. 
 
 
Sayangnya apabila saat sore jam orang pulang kerja, lapangan itu akan penuh oleh mobil-mobil yang terparkir dan anak-anak akan bergegas pulang ke rumah. 
 
Khusus Nino biasa diperintahkan mama untuk pergi ke masjid bersama papa atau sesekali papa akan mengajak untuk berjamaah di rumah.
 
Tidak seperti pagi kemarin, pagi ini kembali kepada aktivitas setiap pagi biasanya. 
 
Mama yang kembali memasak nasi goreng dengan telur mata sapi. 
 
Kak Riri yang makan di meja makan tanpa terburu-buru mengejar bis dan papa yang juga sarapan dengan tenang. 
 
Tidak lupa bekal yang telah mama siapkan untuk ketiga orang yang ia sayangi itu. 
 
Ada hal yang ingin disampaikan mama, tetapi ia terus menunggu dan percaya bahwa orang yang terkait akan mengatakannya dengan sendirinya beserta alasan di balik itu semua.
 
Nino terlihat sumringah pagi ini, bukan main cerahnya bahkan senyumnya berlapis-lapis. 
 
Makan paginya lebih lahap dari biasanya, semangat bersekolah pun lebih meningkat, sepatu baru sudah melekat di kaki sedari tadi seusai pulang dari masjid bergegas ia menggunakan kaos kaki dan sepatu.
 
 
Padahal Mama sudah siap dengan al-qur’an-nya untuk mengaji bersama Papa dan Nino, serta Riri. 
 
Jadilah semua tertawa melihat si bungsu yang sangat takjub akan sepatu itu.
 
“Sepatu itu membuat Nino lalai. Kalau tidak darurat pasti Nino disuruh minta sama Allah dulu, supaya lebih bersyukur dan taat sama Allah. Karena semua dari Allah” celetuk Riri jengkel melihat adiknya yang sedari subuh tadi ia melihat tingkah lakunya seperti tidak sabar lagi ke sekolah menggunakan sepatu tersebut.
 
“Iri bilang bos!” jawaban Nino segera mendapatkan teguran dari Papa dan berhasil membuatnya meminta maaf pada kakaknya musuh bebuyutan yang selalu berakhir menangis oleh Nino karena kelakuan jahilnya yang luar biasa.
 
Matahari sudah terbit cukup hangat, mengeringkan embun di daun-daun yang mulai berguguran menjatuhkan dirinya bersama tiupan angin. 
 
Tanggalnya daun bukan berarti ia kalah, melainkan ada waktu yang telah menanda, seperti saat ini bel sudah menandakan masuk kelas, namun Nino tak kunjung masuk kelas dan melepaskan sepatunya. 
 
Ia asyik menyambut teman-temannya sampai mereka sadar bahwa sepatu baru telah menghiasi kakinya. 
 
 
Hal itu tidak berakhir di pagi hari saja, melainkan jam istirahat datang pun, Nino bersemangat mengajak teman-temannya main lempar-lemparan sepatu dengan sengaja ia berkata “Hati-hati, sepatuku baru” semua mata memandang jengkel kesombongan Nino.
 
Saat Nino berjaga dan mendapatkan satu sepatu hendak dilemparkannya, ia melihat sepatu itu bolong pada alas kakinya dan bertanya, sepatu siapakah gerangan yang telah tidak layak pakai lagi. 
 
Pasalnya telapak kaki kan sakit menggunakannya karena sebagian telapak kaki menyentuh tanah sebenarnya.
 
Saat jam pulang, entah kenapa Nino memutuskan memerhatikan satu demi satu temannya dan melihat siapa yang menggunakan sepatu yang ia pegang tadi, jawabannya adalah Riko. 
 
Sepatunya telah bolong dan membuat Nino bersedih sekaligus menyesal. 
 
Sepulang di rumah ia bergegas memeluk mama dan meminta maaf atas kebohongannya.
 
Benar. Mama telah menebak hari ini pasti datang, sebab ia tahu betul Nino bukan anak yang tidak jujur. 
 
 
Di kamarnya ada sepatu lamanya yang sengaja disembunyikan oleh Nino hanya karena ia ingin sepatu baru tetapi tidak mau dalam waktu lama. 
 
Seperti yang dikatakan kak Riri, harus meminta dulu kepada Allah dengan sholat dan beribadah sangat rajin dari biasanya.
 
“Kan pada hakikatnya, hidup kita untuk beribadah. Semua yang ada di muka bumi kepemilikannya adalah Allah subhanahuwata’allah. Papa kan selalu bilang gitu nak sama Nino. Jadi, ketika minta sesuatu dan Papa meminta Nino minta sama Allah, maka itu adalah sesuatu yang seharusnya. Bukan sebab Papa tidak ingin memberikannya padamu, sayang” nasihat Papa terasa lebih lama dari biasanya malam ini. 
 
Nino menangis terseduh meminta maaf pada Papa dan Mamanya, selain itu Nino disuruh sholat taubat sebagai bentuk memohon ampun kepada Allah sebab telah berbohong. 
 
Kak Riri hanya menarik napas dan menggelengkan kepala heran dengan ide adiknya.
 
Meskipun demikian, ia lebih penasaran apa yang menyebabkan adiknya itu sampai sadar, karena perkiraan mama dan dirinya, Nino akan sadar saat sudah disindir habis-habisan terlebih dahulu. 
 
 
Kenyataannya, satu hari baru berlangsung ia sudah sadar. Iya, mama, papa, dan Riri mengetahui sepatu yang disimpan si bungsu itu.
 
Sebagai upaya mengetahui sebab sadar asik satu-satunya itu, ia menunggui sampai Nino selesai sholat. 
 
Bukan main panjang doanya sembari menangis pula, Riri bangga dengan adiknya saat menangis, sebenarnya lebih kepada ia senang melihat adiknya menangis.
 
Usai sholat, Nino yang bergegas menuju kamar segera dihadang Riri untuk mengajukan pertanyaan mengapa yang telah mengganjal pikirannya sedari tadi. 
 
Nino menceritakan sebab yang ia alami berupa rasa bersalah dan tidak bersyukurnya ia terhadap sepatu yang masih baik kondisinya, hanay karena keegoisannya ia berpura-pura kehilangan sepatu. 
 
Padahal di luar sana banyak orang yang menggunakan sepatu sampai rasanya tidak layak lagi digunakan atau sekadar nyaman saja sudah tidak lagi nyaman.
 
 
Riri tersenyum mendengar cerita adiknya dan menyuruh Nino segera tidur karena memang sudah larut, namun sebelum ke kamar ada sebuah rencana yang diceritakan si bungsu pada Riri dan disepakati Riri untuk membantunya bicara pada Mama dan Papa esok pagi.
 
Pagi ini tidak seperti setiap pagi biasanya, Nino sedikit kaku dan termenung dengan bekas kantung mata yang membekas menandakan ia telah menangis dalam jangka waktu yang tidak sebentar. Mama yang memandang Riko kembali memandang Papa memberikan kode untuk memulai percakapan, Riri yang melihat itu berinisiatif berdehem sebagai pencair suasana. 
 
“Nino mau nyampekin sesuatu, Ma, Pa” lanjutnya.
 
Semua mata tertuju pada Nino dan menunggu mulutnya mengeluarkan kata-kata. 
 
Nino yang menjadi bintang melihat jam dinding yang berputar menunjukkan waktu kurang lebih 15 menit untuk ia menyampaikan keinginannya.
 
“Ma, Pa, boleh tidak sepatu baru Nino, Nino berikan kepada Riko…” belum sempat Nino berucap, Papa sudah mengatakan boleh lebih duluan dan disambung oleh Mama.
 
 
Semua tertawa termasuk Nino yang sedari tadi takut mengucapkan hal itu. 
 
Pagi itu Nino meminta maaf kembali ke Mama dan papanya, sebelum ke sekolah Nino meminta Papanya mampir ke rumah Riko terlebih dahulu.
 
Riko menyambut pemberian Nino dengan suka cita dan merasa tidak enak karena mendapatkan sepatu baru sedangkan Nino menggunakan sepatu lamanya. 
 
Nino mengabaikan rasa tidak enak Riko dan mengatakan ia lebih suka menggunakan sepatu lamanya dibanding yang baru.
 
Dengan ucapan itu, Riko lebih lega dan rasa tidak enaknya memudar dengan perlahan.
 
Dari mobil, Papa tersenyum melihat Nino yang kembali masuk dengan wajah sumringah, bahkan lebih cerah dibanding saat ia menerima sepatu baru di hari kemarin.
 
“Pa...Nino janji gak mau bohong lagi” mobil melaju dengan kecepatan stabil sedang, menghantarkan bahagia seorang anak yang lega akan kebohongannya telah ia bongkar sendiri dan seorang Papa yang bahagia memiliki anak lelakinya ini.
 
Kebohongan pada akhirnya akan menjadikan gelisah di dalam hati, seolah tengah menyembunyikan bangkai sebesar tikus pun akan tercium ketika ia membusuk.***
 

Sobat Genmuslim yang baik hatinya, ingin mendapat berita update setiap hari dari Genmuslim.id? Ayo gabung di Grup Telegram "GENMUSLIM NEWS", caranya klik link https://t.me/genmuslimnews, kemudian join. Langkah pertama install aplikasi Telegram di Ponsel.

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Zaiyana Nur Ashfiya

Sumber: Istimewa

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Terpopuler

X