Pakde Santoso terlalu kejam untuk ukuran keluarga, uluran tangan yang ia berikan memang mulia tetapi tidak dengan cercaan yang beliau lontarkan kepada Abi.
Beliau mengatakan Abi tidak cukup baik sebagai orang tua, hanya seorang petani kecil tetapi berlagak menguliahkan anaknya segala dan bermimpi anak-anaknya menyandang gelar sarjana.
Kalau sudah kesusahan begini bingung kan, cari tempat mengadu sana sini.
Sejujurnya aku sangat sakit menyampaikan hal ini. Pakde Santoso sendiri yang mengakui sudah mengatai-ngatai Abi seperti itu sewaktu aku bersilaturahmi ke sana sebelum wisuda.
Jika tak ingat orang tua, ingin sekali kurobek-robek mulut tak tahu adab itu. Aku minta maaf Bi, bukannya aku tidak mau menyegerakan pernikahan seperti yang Abi inginkan.
Tetapi, aku ingin membuktikan kepada keluarga Pakde Santoso bahwa kita bisa hidup berkecukupan tanpa belas kasihan dari mereka lagi.
Aku bekerja untuk membantu mencukupi kebutuhan keluarga kitai. Aku ingin membalas kerja keras Abi sampai aku bisa seperti sekarang ini Bi, meski sampai kapanpun yang kulakukan tak akan pernah cukup sebagai balasannya.
Aku menarik napas panjang akhirnya, Abi tampak sudah bersiap menjawab berbagai spekulasi yang telah kuciptakan sendiri ini.
"Nduk, Pakdemu itu memang seperti itulah wataknya. Apa yang Abi lakukan itu adalah kewajiban Abi untuk mencukupi kebutuhan kalian. Soal rezeki Abi percaya sudah ada yang menakarnya, hanya yang terjadi saat itu mungkin adalah ujian untuk kita. Dengan keadaan ekonomi kita yang sempit Abi harus tetap berusaha supaya sekolah anak-anak Abi tidak putus di tengah jalan. Apapun akan Abi lakukan selagi itu masih halal. Dan segala hal yang rasanya tidak perlu untuk dihiraukan Abi kesampingkan, ucapan-ucapan pedas Pakdemu itu misalnya."
"Melihat kamu bisa kuliah dengan beasiswa bukan pertanda Abi tak mampu membiayai, tapi Abi bersyukur karena di situlah salah satu cara Allah menurunkan rezeki-Nya untuk keluarga kita. Banyak sekali rezeki yang datang dari arah yang tidak disangka-sangka. Tidak ada orang tua yang sampai hati meminta ganti atas apa yang sudah ia berikan kepada anak-anaknya, karena itu sudah menjadi kewajibannya."
Leburlah pertahanan diriku di hadapan Abi, airmata yang sejak tadi kutahan-tahan akhirnya tertumpah. Perasaan membuat Abi kecewa seakan menyelimuti sekujur tubuh, banyak yang ingin kuluahkan untuk memuji kelapangan pribadi Abi tetapi seperti ada sekat yang menghalanginya. Abi benar-benar cinta pertamaku yang luar biasa.
"Maafkan aku Bi atas kesalahan yang telah kulakukan. Sungguh aku sangat menyesalinya."
"Nah, sekarang sudah tidak ada lagi alasan untuk menunda-nunda pernikahan ya Nduk. Abi yakin kamu sudah mumpuni dan tak ahsan rasanya kalau ditunda-tunda lagi. Perihal kapan akan dipertemukan itu biarlah menjadi rahasia Allah, setidaknya kita telah mengikhtiarkan dengan sebaik-baiknya. Sudah paham?"
"Nggih, Bi." sahutku singkat.
Abi pun kembali tersenyum seraya bersiap-siap menyantap bekal yang sudah kuhidangkan sejak tadi. Tidak ada yang bisa menggantikan posisimu Bi, sungguh tidak akan pernah ada.***