Kalau tidak menawariku kembali melanjutkan studi ke Mesir seperti impiannya kemungkinan besar akan membahas persoalan pendamping hidup untukku.
Poin pertama rasanya sudah tidak mungkin karena katanya Abi dan Ibu telah ridho atas apa yang telah kupilih, lagipula sudah ada Juang yang kelak bersedia melanjutkan studi ke Mesir.
Dan sudah pasti kemungkinan kedualah yang akan menjadi topik pembicaraanku dengan Abi siang ini.
"Apa kabar proposal yang sudah dikirimkan kepada murobbiyah kamu setahun yang lalu?" tanya Abi langsung ke intinya.
Meskipun sudah menerka-nerka sejak awal mula pembicaraan dan menyiapkan jawaban-jawaban yang pantas, aku seketika lunglai tak sanggup berkata-kata.
Seperti ada yang mengiris-iris ulu kalbu mendengar pertanyaan lugas Abi. Ada banyak hal yang kusembunyikan dibalik mengulur-ngulurnya proses taaruf bersama murobbiyahku ini.
Namun, apakah baik jika hal ini kusampaikan kepada Abi. Tanpa sadar mataku sudah berkaca-kaca dan tak sanggup menatap wajah Abi yang penuh harap. Abi pun ternyata menyadarinya.
"Bi, aku mengatakan belum siap menikah kepada Ummi. Ummi adalah panggilanku kepada sang murobbiyah. Aku minta kepada Ummi untuk jangan dulu menawarkan proposalku kepada lelaki manapun." ucapku sembari menahan isak tangis.
Aku sudah berjanji takkan pernah mengucapkan hal ini kepada Abi, tetapi hari ini aku tak kuasa untuk memendamnya lebih lama lagi.
"Astagfirullah. Kenapa kamu sampai melakukan hal itu, Nduk? Tidakkah kamu sadar apa yang sudah kamu lakukan itu salah?" terdengar nada suara Abi agak meninggi dan hatiku semakin terasa sakit mengingkari sebuah kenyataan yang telah kupendam selama ini.
"Aku tidak bermaksud membuat Abi marah. Aku punya alasan kenapa meminta Ummi melakukan hal demikian. Awalnya juga Ummi tidak setuju, kalau belum siap menikah sebaiknya jangan mengajukan proposal dulu. Tapi karena Abi yang memintanya, aku tidak punya alasan untuk menolaknya."
Abi terdiam, tak ada sepatah kata pun mengomentari penuturanku barusan. Sepertinya beliau sudah sekalian mempersilakanku untuk melanjutkan apa yang telah kuucapkan.
Tiga tahun yang lalu saat aku diberangkatkan Kuliah Kerja Nyata (Kukerta) ke desa yang cukup terpencil, kondisi ekonomi keluarga kita sedang sempit.
Saat itu juga Juang baru menginjak bangku MA yang membutuhkan biaya tidak sedikit. Aku tahu Abi meminjam uang ke keluarga Pakde Santoso dengan jumlah yang cukup besar.
Meskipun Abi sudah melunasinya dan kita sudah tidak punya tanggungan hutang apa-apa lagi kepada beliau, tapi Abi sekalipun gak pernah cerita ke aku, Ibu atau Juang bagaimana Abi diperlakukan oleh Pakde Santoso.