Bandingkan dengan sistem SIT atau pesantren yang menanamkan akidah dan ibadah sejak dini.
Dikutip GENMUSLIM dari data laporan tahunan JSIT Indonesia (2023), lebih dari 85% lulusan SIT mampu menghafal minimal 2 juz Al-Qur’an di usia belia.
Beberapa bahkan sudah mampu menyampaikan ceramah dengan landasan dalil yang tepat—sesuatu yang jarang kita temui di sekolah umum, di mana siswa lebih sering dicekoki konten TikTok daripada kisah para nabi.
Ketika ‘Open Minded’ Berarti Membiarkan Anak Terlena
Mari kita bicara soal "lingkungan pendidikan". Orang tua zaman now bangga menyekolahkan anak ke sekolah umum yang katanya "terbuka", "inklusif", dan "berorientasi masa depan", tetapi sering lupa bertanya: masa depan yang seperti apa?
Di sekolah umum, anak-anak lebih mudah terekspos pada pergaulan bebas, bullying, hingga konten liberal atas nama kebebasan berpikir.
Ya, mereka jadi pintar berdebat—tapi sayangnya, dengan orang tuanya sendiri. Mereka fasih menyebut “self-love”, tapi gelagapan saat ditanya arti tawakal.
Padahal, Rasulullah SAW telah bersabda:
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kalau begitu, siapa yang menjadikan mereka "netral" tanpa agama?
Biaya Pendidikan di Sekolah Islam Mahal? Silakan Bandingkan dengan Biaya Kehilangan Akidah
Tentu, SIT dan pesantren mungkin terasa lebih mahal. Tapi bukankah kita rela membayar jutaan untuk bimbel, kursus bahasa asing, atau les coding?
Mengapa tiba-tiba pelit ketika diminta investasi untuk pendidikan akhirat anak?
Mendidik anak agar pintar itu penting. Tapi mendidik mereka agar tetap mengenal Allah saat dewasa, jauh lebih penting.