GENMUSLIM.id - Pergumulan mengenai bahasa politik yang dipakai pada masa kesultanan Islam di Nusantara pada awalnya memakai konsep ‘insan kamil’ atau ‘manusia sempurna,’ yang diambil dari khazanah tasawuf falsafi.
Konsep ‘manusia sempurna’ yang diadopi oleh kesultanan Islam di Nusantara-Melayu ini diilhami salah seorang tokoh sufi besar dalam sejarah Islam, yakni Ibnu Arabi dari Andalusia Spanyol dan Al Jili.
Menurut Azyumardi Azra di dalam bukunya yang berjudul Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad 17 dan 18; Melacak Akar-akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia, jika tasawuf falsafi juga dijadikan pondasi bagi pembangunan istana kerajaan.
Sebuah taman di dalam istana raja yang dibangun pada masa kekuasaan Iskandar Tsani, yang disebut sebagai Taman Gairah, didesain dengan susunan tertentu sebagai pusat energi spiritual.
Baca Juga: Khazanah Intelektual Islam, Biografi Sekilas Filsuf Muslim Al Kindi dan Pendapatnya Tentang Falsafah
Bustan Salatin yang ditulis oleh Nuruddin Raniri memotret bagaimana satu situs tepat di bagian tengah taman, gunungan, yang berfungsi sebagai tempat suci di mana para raja Aceh bermeditasi dengan dzikir dan shalawat untuk memperoleh prestasi spiritual tertinggi sebagai ‘raja sufi.’
Gagasan tasawuf falfasi ini juga dijadikan sebagai dasar bagi sistem politik kesultanan Islam di Sumatra dan Melayu, Buton, dan di Sulawesi.
Meski demikian, orientasi politik yang diilhami gagasan ‘manusia sempurna’ khas tasawuf falsafi ini mendapat tandingan dari apa yang disebut oleh Azyumardi Azra sebagai ‘neo sufisme.’
Neo sufisme ini bisa didefinisikan sebagai tasawuf akhlaqi atau tasawuf amali, yang coraknya mudah dipahami oleh semua kalangan dan praktis untuk diamalkan.
Selain itu, ‘neo sufisme’ ini sebuah ‘genre’ dalam sufisme yang menekankan lebih ketat dalam hal menjalankan syariat Islam.
Namun harus dipahami juga, jika tasawuf falsafi bukan berarti abai dengan syariat Islam, tetapi juga berpegang pada syariat Islam, hanya saja tak seketat seperti ‘neo sufisme.’
Gagasan Islam ala neo sufisme yang lebih ketat dalam menjalankan syariat Islam ini mulai bergema pada abad ke-17 M memiliki pengaruh yang sangat kuat.
Gagasan sufi Wahdatul Wujud Hamzah Fansuri (wafat 1607) dan Syamsuddin al Sumatrani (wafat 1630) mulai disaingi.