Dalam kehidupan sehari-hari, seringkali kita menjumpai seseorang yang menceritakan kebaikan orang lain dengan tujuan untuk mendapatkan pujian atau pengakuan.
Ini bisa menjadi masalah jika dilakukan dengan niat yang tidak tulus.
Menceritakan kebaikan orang lain haruslah dilakukan dengan tujuan yang baik, seperti memberikan inspirasi atau motivasi kepada orang lain, bukan untuk mendapatkan pujian atau memperlihatkan kepandaian.
Namun, ada kalanya menceritakan kebaikan orang lain dilakukan untuk memotivasi diri dan orang lain.
Misalnya, saat seseorang menceritakan bagaimana seorang sahabat atau tokoh berperilaku baik, hal ini bisa menjadi sumber inspirasi dan dorongan untuk meningkatkan ibadah dan amal baik.
Penting untuk membedakan antara menceritakan kebaikan untuk memotivasi dan menceritakan untuk tujuan riya.
Menurut pandangan Islam, amalan yang baik harus dilakukan dengan niat yang bersih dan tidak terpengaruh oleh keinginan untuk dipuji oleh orang lain.
Hal ini sejalan dengan ajaran yang disampaikan oleh ustadz Dzulqarnain Muhammad Sunusi, yang menekankan pentingnya menjaga niat dan menghindari riya dalam beramal.
Para ulama seringkali memberikan contoh bagaimana mereka melakukan amal kebaikan tanpa mengharapkan pujian dari manusia.
Mereka lebih fokus pada kualitas ibadah dan amalan mereka, bukan pada pengakuan yang diberikan oleh orang lain.
Ini adalah pelajaran penting bagi setiap umat Islam untuk menjaga keikhlasan dalam setiap amalan yang dilakukan.
Membenahi hati dan niat adalah proses yang berkelanjutan. Umat Islam harus terus-menerus melatih diri untuk menjaga niat agar tetap bersih dan bebas dari riya.
Salah satu cara untuk melatih hati adalah dengan merenungkan ajaran Al-Qur’an dan Hadis, serta mengikuti teladan para ulama yang telah menunjukkan bagaimana amalan yang benar seharusnya dilakukan.
Dalam hal ini, doa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala juga sangat penting. Doa adalah sarana untuk meminta perlindungan dari sifat riya dan memohon agar amalan kita diterima dengan baik di sisi-Nya.