Ayat tersebut secara jelas bahwa hukum memakan daging bangkai itu haram. Namun boleh dihalalkan jika ada kondisi tertentu.
Seperti kasus seorang laki-laki yang bernama muwaffaq, saat istrinya sedang hamil dan mencium aroma masakan daging yang dimasak oleh tetangganya.
Lalu muwaffaq ini datang dan meminta sedikit masukan daging yang dibuat tetangganya.
Namun dengan berat hati tetangga itu menolaknya dan berkata,
''Oleh karena kamu tidak tahu keadaanku, maka aku terpaksa menyesuaikannya. Sebenarnya anak-anak yatimku sudah tiga hari belum makan. Lalu aku keluar mencari sesuatu makanan. Sewaktu aku mencari makanan, aku bertemu dengan bangkai khimar (babi), maka aku memotong sebagian dagingnya, lalu aku memasak. Maka makanan ini halal untuk kami dan haram untuk kamu.”
Dalam keadaan ini wanita dan anak-anaknya diperbolehkan memakan daging bangkai karena keadaan darurat sedangkan untuk laki-laki yang bernama muwaffaq dan istrinya tidak diperbolehkan karena ia mampu membeli makanan.
Hukum diperbolehkannya memakan bangkai dalam keadaan darurat, disebut fiqh.
Lalu bagaimana metode dan tata cara diperbolehkannya memakan daging bangkai itulah yang dinamakan Ushul fiqh.
Sehingga permasalahan keadaan ini kemudian dinaungi oleh kaidah fiqh yang berbunyi, ''Kemudharatan dapat memperbolehkan sesuatu yang dilarang''
Lebih jelasnya jika dibuat ibarat yang lebih mudah dipahami.
Ibaratnya sebuah pabrik, fiqh adalah pabriknya, Ushul fiqh adalah bagaimana cara memproduksinya dan kaidah fiqh adalah media untuk menata dan pemanggang sekaligus merawat bagaimana produk itu dihasilkan.***