Karena, ikatan ibu dan anak sangat kuat dan lebih mengetahui kebutuhan anak, mulai dari makan, menggendong, menidurkan, dan mengasuhnya.
Ibu dianggap lebih pengalaman, lebih mampu, lebih tahu, dan lebih tahan mental dalam mengasuh anak.
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, ada seorang wanita pernah mendatangi rasulullah dan mengadukan masalahnya. Wanita itu berkata:
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ ابْنِي هَذَا كَانَ بَطْنِي لَهُ وِعَاءً وَثَدْيِي لَهُ سِقَاءً وَحِجْرِي لَهُ حِوَاءً وَإِنَّ أَبَاهُ طَلَّقَنِي وَأَرَادَ أَنْ يَنْتَزِعَهُ مِنِّي
“Wahai Rasulullah, anakku ini dahulu, akulah yang mengandungnya. Akulah yang menyusui dan memangkunya. Dan sesungguhnya ayahnya telah menceraikan aku dan ingin mengambilnya dariku”
Mendengar pengaduan Wanita tersebut Rasulullah pun menjawab:
أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ مَا لَمْ تَنْكِحِي
“engkau lebih berhak mengasuhnya selama engkau belum menikah”
Hadits ini menunjukkan, bahwa ibu adalah orang yang paling berhak atas hak asuh anak ketika ia bercerai dengan suaminya dan sang suami ingin merebut hak asuh anak darinya.
Sekalipun pengasuhan anak adalah hak ibu, tetapi ada beberapa faktor yang dapat menghalanginya.
- Ar-riqqu
Apabila ayah dan ibu sang anak adalah seorang budak tidak dapat hak mengasuh anak. Karena seorang budak tidak mempunyai hak wilayah dan akan disibukkan dengan pelayanan terhadap majikannya dan segala yang ia lakukan dibatasi oleh tuannya.
- Orang fasik
Adalah orang yang mengerjakan maksiat sehingga orang itu keluar dari ketaatan kepada Allah.
Sehingga ia tak dapat dipercaya untuk mengemban tanggung jawab pengasuhan. Dan hak asuh anak pun terlepas darinya.