Baca Juga: Cerpen Inspiratif Islami: Kisah Perjuangan Hujan Dalam Berdagang dan Berdoa Kepada Allah
Keinginannya untuk belajar dan berteman dengan banyak ulama membawanya banyak guru di Kalimantan, Jawa dan Madura serta di Timur Tengah (Mekkah), ada yang bilang ada sekitar 179-200 guru.
Setelah melanglang buana belajar agama dan pendidikan lainnya, Abah Guru Sekumpul mendapat mandat untuk mengajar di Pondok Pesantren Darussalam Martapura.
Atas rekomendasi dari K.H. Abdul Qadir Hasan, K.H. Sya’rani Arif, dan K.H. Salim Ma’ruf, ia menjadi pengajar di pondok pesantren tersebut.
Lima tahun kemudian, Abah Guru Sekumpul berhenti dan memilih melakukan kegiatan dakwah dengan membuka pengajian di rumahnya di Keraton Martapura.
Baca Juga: Puisi: Takdir Semesta, Sebuah Karya yang Menceritakan Tentang Harapan dan Impian Seseorang
Pengajian ini diadakan hanya untuk menunjang pelajaran para santri di Pondok Pesantren Darussalam Martapura, dengan diisi pengulangan kitab-kitab Ilmu Alat, seperti Nahwu dan Saraf.
Namun, pada perkembangannya, jemaah yang menghadiri pengajiannya cukup beragam, bukan hanya dari kalangan santri, tetapi juga masyarakat umum.
Pengajian di Keraton Martapura dirasa sudah tidak mampu lagi menampung jemaah, maka Abah Guru Sekumpul berinisiatif untuk pindah ke lokasi pengajian yang baru.
Pada sekitar 1980-an, Abah Guru Sekumpul memilih wilayah Sungai Kacang sebagai lokasi rumahnya sekaligus tempat pengajian yang baru.
Baca Juga: 6 Rekomendasi Destinasi Wisata di Magetan yang Terfavorit dan Keren 2023. Dijamin Bikin Kamu Betah!
Rumah baru Abah Baru Sekumpul ini kemudian dinamakan komplek Ar-Raudhah, penamaan tersebut mengacu pada nama Ar-Raudhah di Masjid Nabawi, Madinah.
Abah Guru Sekumpul meninggal di awal abad ke-21, saat itu kesehatan Abah Guru Sekumpul mulai memburuk dan jatuh sakit.
Kesehatan guru Sekumpul yang semakin menurun, membuat pengajian tidak bisa lagi dilakukan secara rutin.
Beberapa kali pengajian diliburkan, bahkan ada yang berbulan-bulan.