“Engkau !” sabdanya dengan telunjuk mengarah ke wajah Abu Dzar al Ghifari, “Sungguh dalam dirimu masih terdapat jahiliyah!”.
Abu Dzar al Ghifari yang dikejutkan hakikat dan disergap rasa bersalah itu serta-merta bersujud dan memohon Bilal bin Rabah menginjak kepalanya.
Berulang–ulang dia memohon tetapi Bilal bin Rabah tetap tegak mematung.
Dia marah, tapi juga haru. “Aku memaafkan Abu Dzar al Ghifari, Ya Rasulullah.” Kata Bilal bin Rabah. “Dan biarlah urusan ini tersimpan disisi Allah, menjadi kebaikan bagiku kelak”.
Lantas, pelajaran apa yang bisa diambil dari kisah Abu Dzar al Ghifari dan Bilal bin Rabah ini?
Menurut Salim A Fillah, dalam buku Dalam Dekapan Ukhuwah, kemampuan untuk berhubungan baik dengan sesama manusia bukanlah akibat serta-merta dari Iman yang kokoh menjulang.
Baca Juga: Bagaimana PSMS Soal Mempersiapkan Pemain Asing, Arifuddin : Masih Dalam Pantauan Radar
Abu Dzar al Ghifari bukanlah seserang yang lemah Iman, tetapi lisan kebenarannya tajam dan tak menimbang perasaan orang.
Dalam sirahnya, Abu Dzar al Ghifari juga dikenal dengan seseorang yang tak tahan untuk diam dan berlapang dada terhadap kesalahan sesama.
Sebagai seorang muslim, sikap Abu Dzar al Ghifari menjadi gambaran bahwa ada banyak sekali orang yang memiliki lisan yang tajam, tetapi kata-katanya menyiratkan kebenaran; dan itu bukan karena tak beriman.
Karena pada dasarnya kemampuan untuk berhubungan baik dengan sesama manusia adalah “skill” terpisah yang bisa dipelajari, sama seperti saat seorang muslim belajar meningkatkan kualitas imannya.
Sekali lagi, kemampuan untuk berhubungan baik dengan sesama manusia dan kualitas iman adalah dua hal yang terpisah.
Namun, sebagaimana halnya Abu Dzar al Ghifari, Rasulullah SAW, tidak pernah mengangkat seseorang yang lemah dalam kemampuan untuk berhubungan baik dengan sesama manusia, menjadi salah satu petugas untuk suatu jabatan.
“Hai Abu Dzar al Ghifari, sesungguhnya kulihat engkau seorang yang lemah!” Tentu yang Rasulullah SAW., maksud disini bukanlah soal lemah iman.