Enggak nyangka. Teman lamaku ini masih mengingat pelajaran SMA dulu. Meskipun ia baru saja menghakimiku, tetapi harus kuakui kalau memang dia jauh lebih cerdas dibandingkan denganku.
“Ada apa dengan itu?” tanyanya penasaran.
“Kamu masih ingat pelajaran itu?” tanyaku balik
“Rasanya cuma itu yang aku ingat dari pelajaran Fisika SMA,” katanya sembari tertawa.
“Kenapa dengan itu?” lanjutnya dengan raut wajah berubah penasaran.
“Aku ingat Sandri lagi,” jawabku sendu.
“Sandri lagi?” tanyanya heran.
“Mungkin perasaanku kepadanya seperti itu,” jawabku sambil meratap.
“Seperti itu? Maksudmu?” tanyanya lagi.
“Saat sayang ini padanya hanya sebatas melalui perasaanku tanpa ada perasaannya, maka sayang itu akan menjadi tetesan-tetesan tak berguna di luar gelas.” Aku menjelaskan.
“Tentu! Gak ada gunanya kau terus-menerus berharap padanya, toh kejadiannya pasti sama seperti tetesan-tetesan tak berguna di luar gelas itu,” jawabnya dengan nada yang benar-benar mengejek kali ini.
Rasanya memang benar, perasaanku sepertinya akan berakhir seperti kisah tetesan-tetesan embun tak berguna di luar gelas cappuccino dingin kesukaanku.
Tak tahu apa yang mesti aku lakukan, sudah sejauh ini aku berjuang dan Sandri belum juga memberikan respon yang kuharapkan. Ada banyak rasa sakit yang rasanya tak mungkin aku cabut, sehingga satu-satunya pilihan adalah menikmatinya.
Aku percaya menyukainya adalah takdir Tuhan, dan tentu saja tak ada yang bisa disalahkan dalam drama kali ini.