Aku seolah tak percaya dengan kalimat yang keluar dari mulut temanku barusan.
Aku hanya berusaha memastikan semua perkataan yang keluar dari mulutnya saat itu dan tentu aku juga semakin dibuat bingung dengan peran yang diberikan Tuhan padanya malam ini.
“Baru saja kau menghakimiku sekarang kau berbalik mendukungku. Jangan-jangan kau utusan iblis ?” kataku sengit
“Iblis mana yang seganteng aku?” jawabnya kocak.
Hampir saja kesabaranku habis. Seandainya dia bukan sahabatku sudah kupecahkan kepalanya dengan gelas cappuccino dingin ini.
“Aku baru ngeliat kau kayak gini, kita berkawan udah lama tapi kayak baru kemarin rasanya aku kenal sama kau,” lanjutnya.
“Maksudmu?”
“Kalau kau benar-benar sayang sama dia, kejar. Jangan pernah dengarkan pendapat orang.”
“Kau jangan membuat aku bingung, Ji.”
“Kasih sayang perlu keikhlasan, semakin kau ikhlas dengan apa yang dijauhkan, maka yang kau ikhlaskan akan menjadi lebih dekat.”
“Terus apa maksudmu menyuruhku berhenti mengejarnya?”
“Aku cuma mau lihat kau marah malam ini.”
Bibirku mengembang, kupersembahkan senyuman paling tulusku malam itu. Aku merasa ada nada-nada mendukung dalam kalimat terakhir teman lamaku ini, tak ada lagi irama-irama penghakiman dalam merdunya ia berkalimat kali ini.
Tak tahu sejak kapan ia pandai bersyair seperti itu apakah sejak rajin membaca buku Djalaluddin Rumi atau Kahlil Gibran, entahlah.
