“Kenapa lama, Kei?” Aku tak sabar untuk bertanya.
“Dia sudah menanam banyak sekali, hampir sampai di puncak bukit sisi selatan. Aku berlari untuk menyusulnya, beruntung kami sudah sampai di sisi barat saat longsor itu terjadi,” jelasnya dengan tertawa tapi juga terengah-engah.
“Keren banget si Yoga,” pujinya. Kei memandangku lembut, kedua sudut matanya naik, aku yakin dia tersenyum di balik masker itu.
Aku terdiam, tak menyangka kata-kata itu keluar dari lelaki yang biasanya bersikap dingin itu. Kei yang katanya anti sosial tapi justru dia yang menyelamatkan kami semua. Ya Tuhan, aku tidak bisa bayangkan apa yang akan terjadi jika kami tak membawa tim Merti Buwana dalam agenda ini.
###
“Lima menit lagi kita pulang, bentar lagi Maghrib,” celetuknya.
“Yah, kan aku belum habiskan cokelatnya,” keluhku.
Baca Juga: Cerpen Series Bunga: Mawar Bunga Favorit dan Kesayangan Ibu Selalu Dirawat Sepanjang Waktu
Mata minimalisnya itu menatap lurus padaku. “Makanya jangan ngelamun terus,” sindirnya. Kedua sudut bibirnya terangkat cukup lama, dia tersenyum. Aku meminum cokelat yang dipesankan Kei untukku. Rasanya pas, hangat dengan sedikit gula dan sedikit susu, selalu membuat mood-ku menjadi lebih baik.
“Kei?”
“Apa?” jawabnya dingin. “Kayaknya kamu nggak pernah bilang suka deh ke aku.” Kei tak menjawab, malah memejamkan mata sembari menikmati kopi yang hampir habis itu. Aku kesal.
“Kei?”
“Ra?” Ia malah menjawab dengan penggalan namaku.
“Kei?”
“Ra?” Ia mengulang lagi seperti mengejek.