“Kemarin, Ning Aliya cerita ke saya tentang kamu yang sebenarnya ingin menikah umur 25 tahun. Apa benar kamu sudah siap menikah?” tanya Gus Ihsan.
“Eee.. Insyaa Allah kalau sudah dikasih sama Allah, Insyaa Allah siap, Gus,” jawab Lea.
“Kamu tau siapa yang mengagumi kamu?”
“Tidak, Gus. Saya tidak tau.” Lea masih terus menundukkan kepalanya.
Baca Juga: Menelusuri Jarak dalam Puisi: Antara Teknologi dan Hati, Antara Kehadiran dan Kehilangan Makna
“Dia itu, kakak kelas kamu, mungkin satu tahun atau dua tahun lebih tua dia daripada kamu,”
Lea tetap terdiam, namun otaknya mulai mencerna.
“Siapa ya? Nggak mungkin kalau Gus Husein, karena beliau pernah mengajar alfiyah di kelasku,” batin Lea.
“Sudah menangkap clue dari saya, Le?” sambung Gus Ihsan.
Lea menggelengkan kepalanya. “Belum, Gus,” ucapnya.
“Baiklah, begini saja..” Gus Ihsan mengubah posisinya, dari yang awalnya duduk, kini berdiri sambil merangkul Gus Ihsan.
“Kamu buat cv taaruf, nanti biar Gus Husein menyuruh laki-laki itu buat cv taaruf juga. Kalau bisa besok malam sudah selesai dan bisa saling tukar cv taaruf, bisa, Le?” sambungnya.
“Enggeh, Gus. Bisa Insyaa Allah,” jawab Lea.
“Dek, kamu bisa kondisikan kan laki-laki itu buat cv taaruf?,” tanya Gus Ihsan pada Gus Husein.
