"Kamu jangan bertindak sendiri, di sana sangat berbahaya!" Kali ini giliran Ayah yang mengomel.
"Bibi juga takut kamu kenapa-kenapa. Apa yang sebenarnya kami lihat, Nak?" tanya Bibi ikut mengomel.
"Yang dilihat Ali sesuai dengan kecurigaanku. Kalau dari cerita Salman tadi, sepertinya benar perampok itu masih ada dan bambu-bambu yang kalian lihat adalah tipu daya mereka agar tidak ada yang mendekati tempat persembunyiannya. Sebenarnya, alasan di balik patah tulangku bukan karena mencari kayu bakar, tetapi karena aku jatuh saat mengintai mereka dari atas pohon. Beruntung mereka tidak melihatku," ungkap Paman Abbas.
Ali bernapas lega. Setidaknya ada satu orang yang memihak padanya.
"Maafkan aku, Bu, Yah. Bukan maksud Ali ingin bertindak sendiri. Tetapi hanya itu kesempatannya. Itu juga sebabnya Ali minta Salman untuk pulang duluan dan menceritakan semuanya agar kalian tahu apa yang sedang terjadi. Oh iya, satu lagi. Ini adalah hasil rekaman ponselku," kata Ali sambil memutar video dari awal sampai akhir. Bahkan ucapan sang Perampok tentang makam palsu pun terdengar oleh mereka.
"Tidak bisa dibiarkan!! Sekarang kita sudah punya buktinya, sudah saatnya kita lapor polisi!" kata Paman Abbas menggebu-gebu.
"Sebentar Paman, sebelum berangkat aku harus menyalin file ini dulu. Karena ukuran filenya besar, akan kukirim dengan bluetooth ke hp Salman, Ibu, dan Ayah untuk berjaga-jaga," kata Ali.
"Bibi akan laporkan ini ke Pak RT. Nak Salman ikut Bibi ya, untuk perlihatkan videonya," ajak Bibi.
Akhirnya, secara bersama-sama, warga mendatangi kantor polisi.
Polisi dibantu oleh warga menjebak gerombolan perampok hingga berhasil dibekuk dan dijebloskan ke penjara.
Bambu bernyanyi buatan perampok itu pun diambil warga dan atas inisiatif Ibunya Ali digunakan sebagai icon wisata agar bisa menambah pemasukan bagi warga di sana.
Seminggu kemudian, terapi Paman Abbas pun selesai.
