Buyung meminta Dahlia untuk menghemat pengeluaran. Makan tempe atau tahu bahkan sambal orek tiap hari tak masalah baginya.
Perempuan itu mengangguk patuh. Masih awal pernikahan, semuanya bisa dibicarakan dengan baik.
Memasuki bulan ketiga pernikahan, perubahan mulai dirasakan. Dahlia terlihat tak menyukai bagaimana Buyung memperlakukan dirinya dan keluarga.
Semua gaji Buyung diberikan pada keluarganya, untuk keperluan listrik dan biaya sekolah adiknya.
Baca Juga: Cerpen: Bersama Nenek Mencapai Impian
Dahlia hanya diberi sisa uang yang tentu saja orang normal akan menghabiskannya dalam satu hari, bukan satu bulan.
Dahlia berontak, mengutarakan ketidakbahagiaannya. Buyung hanya terdiam, tidak melakukan pembelaan.
“Mengapa abang mengajak saya menikah? Orangtuaku menghidupiku dengan layak, sementara abang menyuruhku bersabar dengan keadaan setiap harinya. Dahlia tidak bahagia, Bang. Paling tidak, seimbangkan pengeluaran untuk keluarga kita dan keluarga abang. Tak bisa abang lihat betapa kurusnya Lia sekarang?” omel Dahlia waktu itu.
Buyung menatap istrinya dan foto pernikahan secara bergantian. Istrinya memang jauh lebih kurus dibandingkan awal pernikahan.
“Bang, menikah itu tak cukup dengan cinta. Dahlia tidak kenyang hanya karena abang cintai,” lanjut istrinya itu.
Buyung termenung.
“Bang Buyung, sebelum menikah ada banyak hal yang harus dipersiapkan. Kematangan usia, kondisi ekonomi, kesiapan mental, dan bukan hanya cinta. Salah Lia juga dari awal langsung mengiyakan ajakan menikah dari abang.”
“Kau menyesal, Lia?” tanya Buyung dengan lesu.