Keluguan, keharmonisan, kebersamaan, dan tentunya bentangan sawah yang luas, ladang, dan kebun menjadi tempat yang amat sentimental bagi Marno.
Baca Juga: Cerpen Tentang Cinta: Memaknai Kehilangan Dari Sudut Pandang Seorang Hindun Perempuan Pecinta Kopi
“Marno, kemarilah, duduk.”
“Kenapa? Bukankah sejak sore aku duduk terus di situ.”
“Kemarilah, duduk.”
“Aku sedang enak di jendela sini, Jane. Ada beribu kunang-kunang di sana.”
“Kunang-kunang?”
“Ya.”
“Bagaimana rupa kunang-kunang itu? Aku belum pernah lihat.”
“Mereka adalah lampu suar kecil-kecil sebesar noktah.”
Begitulah Marno, dengan melihat keluar jendela ia seolah-olah membayangkan melihat kerlap-kerlip cahaya kunang-kunang di Manhattan.
Baca Juga: Cerpen Pendidikan Islam: Cahaya Pencari Ilmu
Lagi-lagi ini amat sentimentil bagi Marno. Hidup di kota memang secara materi terpenuhi, tetapi desa selalu menawarkan lebih dari sekedar materi.
“Marno, waktu kau masih kecil ….. Marno, kau mendengarkan aku, kan?”
“Ya.”