"Ya, mungkin sibuk mereka, Pak. Kita doakan saja, ibu juga sama kangennya kayak Bapak."
"Tapi sekali-sekali gitu telepon atau kirim surat. Biar kangennya endak terlalu berat," ucap Kakek Duta sedikit mendengus karena kesal.
Nek Ningrum hanya bisa tersenyum melihat tingkah suaminya. Kadang kata orang memang benar, kalau sudah tua sikap dan perilaku sering seperti anak kecil yang haus perhatian.
"Sabar, Pak. Lagian sekarang mana zaman kirim surat, Pak. Mungkin mereka memang lagi endak sempat, jangan marah-marah toh, kesehatan Bapak kan lagi kurang baik."
Kakek Duta menuruti perkataan istrinya, dia tidak lagi marah-marah dan mengomel. Kakek itu beralih menatap kolam ikan di dekat gazebo.
"Bu, di usia dan sisa hidup yang sekarang bapak benar-benar bersyukur bisa ditemani dan jatuh cinta sama perempuan seperti Ibu. Selalu memahami bapak lebih baik dari siapa pun, kalau bapak api ya ibu airnya itu. Selalu menenangkan."
"Ibu juga cinta Bapak. Terima kasih sudah tetap bersama sampai kita tua dan ompong begini," ucap Nek Ningrum kemudian pasangan itu tertawa bersama.
"Meskipun ompong cantikmu endak ilang, Bu. Karena adanya di sini." Kakek Duta menunjuk ke arah dadanya sendiri.
"Dari hati," ucapnya lagi.
Hari makin gelap akhirnya mereka memutuskan untuk menyudahi obrolan ringan dan penuh ungkapan cinta itu. Beristirahat hingga pagi tiba.
Keesokan harinya, seperti biasa Nek Ningrum selalu bangun lebih awal dari suaminya. Dia membangunkan sang suami yang masih memejamkan mata.
Namun, berulangkali Nek Ningrum menggoyangkan tubuh Kakek Duta tetapi sang suami tak bergerak sedikitpun. Tubuh perempuan tua itu mendadak lemas seketika.
Harinya sudah tiba. Kini Nek Ningrum tahu siapa yang lebih dulu pergi.
"Ibu ikhlas, Pak. Bapak istirahat yang tenang, ya."