Aku berada di sana cukup lama, menunggu hujan sedikit reda.
Jika kalian berpikir Langit yang mendatangiku tiba-tiba lalu meminta izin untuk duduk di sampingku dan berbicara atau mengajakku berkenalan seperti cerita-cerita dalam novel. Maaf, tapi itu tidak terjadi padaku.
Pertemuan aku dan dirinya tidak berjalan seperti yang kalian pikirkan.
Setelah cukup lama aku berada di sana dan perlahan hujan mulai reda, aku memutuskan untuk pulang sebelum hari makin gelap. Setelah membayar minumanku, aku berjalan meninggalkan warung itu.
Baca Juga: Spesial Agustus! Cerpen Cita Nino: Hadiah Kemerdekaan Indonesia untuk Anak Baik
Namun, tiba-tiba seseorang bersuara dan membuat langkahku terhenti. Awalnya aku tidak menghiraukan, sampai orang itu memanggilku kedua kalinya.
"Mbak, yang pakai kerudung biru."
Aku menoleh dan kulihat seorang lelaki berambut ikal, tetapi tidak keriting berlari ke arahku.
"Mas-nya manggil saya? Kenapa, Mas?"
"Ini ada yang ketinggalan." Dia menyodorkan selembar kertas yang ternyata berisi sketsa wajah yang mirip denganku. Aku mengerutkan kening, heran.
"Ini bukan punya saya, Mas. Mungkin salah orang."
"Memang bukan punya, Mbak. Tapi ini saya kasih buat Mbak. Saya yang gambar tadi, maaf enggak izin. Mbak, lagi asyik baca buku di warung tadi."
Aku terdiam sejenak. Bingung apa aku harus senang karena lelaki itu menggambar wajahku atau aku harus marah karena dia melakukannya tanpa izin.
"Terima kasih kalau gitu." Akhirnya hanya itu yang aku katakan sambil tersenyum tipis. "Akan saya simpan gambarnya, kalau gitu saya permisi."
Baca Juga: Cerpen Inspiratif Islami: Ali, Pak Ahmad, dan Semangat Gotong Royong di Desa