Cerpen Kehidupan: Pengamen Setengah miskin bibir, Bisa Jadi Kamu Pernah Mengalami Ini

Photo Author
- Rabu, 9 Agustus 2023 | 16:48 WIB
Cerpen Pengamen Setengah miskin bibir (GENMUSLIM.id/dok: Canva)
Cerpen Pengamen Setengah miskin bibir (GENMUSLIM.id/dok: Canva)
GENMUSLIM.id- Cerpen ini berawal dari sini.
 
Aku yang sesekali duduk dan berdiri kembali, menarik napas sebelum kembali menyamakan langkah dengan ibuku, dari kejauhan ada pengamen yang beriringan.
 
Dari bibirnya 'miskin' begitu ku baca.
 
Cerpen ini bukan bicara hanya tentang napasku yang memburu sebab jalan jauh, melainkan sesak melihat banyak orang di sekeliling.
 
Tidak peduli miskin atau kaya tetap saja dihadang oleh pengamen pasar.
 
 
Tunggu, aku bukan sedang di tempat asing. Aku sedang di tempat yang sangat ramai. Di pasar.
 
Sedari pagi buta jalanan begitu lenggang sampai sekarang sudah menempel keringat satu dengan yang lain.
 
Aku meminta jeda sejenak setiap kali terenggah, badan yang cukup berisi dari seharusnya sampai ruang pasar yang begitu membludak membuat semakin sesak.
 
Jelalatan mata ini ketika berhenti di toko cemilan, lagi-lagi aku melihat rombongan pengamen itu.
 
Bergiliran, masuk dan keluar dari toko satu ke yang lain mencari pundi melalui pita di tenggorokan.
 
Aku kembali asyik memindai mana jajan yang enak dapat ku bawa pulang dengan meminta kepada ibu.
 
Seseorang menepuk pundakku dan menyapaku dengan lugas dan cepat.
 
Kupikir siapa, ternyata pengamen yang sedari tadi ku perhatikan.
 
Mereka telah di sampingku dan menadahkan tangan meminta imbalan sesuatu hal yang tidak aku ketahui.
 
"Maaf...." 
 
Aku meninggalkannya begitu saja.
 
 
Tanpa sepeserpun yang ku berikan kepadanya.
 
Aku masih mengikuti ibuku dengan seabrek belanjaan yang ku bawa, padahal harusnya sunahnya belanja itu bawa sendiri barang yang telah dibeli supaya tau seberapa banyak yang telah dibeli.
 
Berputar, berbelok dan ke belakang. Bertemu ikan, ayam, daging dan amis yang menyeruak masuk ke dalam kerongkongan. 
 
Sungguh membuat perut terdapat kupu-kupu yang menyebalkan.
 
Bukan sebab menggelitik, tapi sebaliknya memualkan.
 
Banyak juga orang-orang yang beranjak pulang, mungkin sebab baru sadar matahari hampir di atas kepala. 
 
Berbeda dengan orang lainnya, ibu malah justru masih asyik mengobrol dengan penjual-penjual yang ia kenal atau menawar barang-barang yang ia minati.
 
Sudah hampir di jalan keluar, aku dan ibu masih memilih barang yang dicari.
 
Enam pot bunga.
 
Toko pertama, hanya punya dua pot dan kemahalan.
 
Toko kedua tidak ada yang berbentuk bulat, ada jajar jenjang dan segi lima. 
 
Belum lagi ke toko ke tiga, para pengamen datang dan menadahkan topinya.
 
Aku menggeleng. Mereka terus menyodorkan.
 
"Ayoklah kak, seribu aja, sedekah kak. Dapat pahala"
 
Ujarannya sebegitu percaya diri akan mendapat belas kasihan dariku.
 
Mungkin sebab melihat jilbab dan gamis yang ku kenakan, jadi dia mulai menjajakan amalan shaleh.
 
 
Aku hanya diam tak bersuara dan beri isyarat tanda tangan, tidak dan maaf. 
 
Saat akan sampai di toko ke tiga, kembali dihadang seorang dengan menadahkan kedua tangannya.
 
"Gak bang, maaf ya, saya gak mau ngasih. Udah ketiga kalinya loh."
 
Padahal tidak sepatah katapun nyanyian yang terucap darinya.
 
Sepeser uang sebenarnya bukan perkara kalau ada bentuk usaha. 
 
Lagi-lagi aku melihat 'pelit' pada bibirnya setelah ditolak dari satu penjual atas ngamennya yang entah apa yang dinyanyikan.
 
Akhirnya ibu membawa pulang 2 pot bunga dari toko pertama yang dianggapnya kemahalan. 
 
Ya begitulah kisah cerpen ini.***
 
 
 

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Dwi Nur Ratnaningsih

Sumber: Istimewa

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Terpopuler

X