Bagi tokoh yang masuk ranah itu dan tidak ingin kariernya terancam, perlu mewaspadai hal-hal yang menyinggung, menyerang, bermakna rasisme saat berada di hadapan publik.
Sebab, cancel culture dapat membuat nama baik tokoh menjadi buruk dan secara otomatis akan terasingkan saat berada di tengah masyarakat.
Baca Juga: Clara Shinta Mengaku Diteror oleh Pendukung Gus Miftah: Mendapat Pesan dan Ancaman yang Mengganggu
Apa Alasan Adanya Budaya Pembatalan?
Umumnya, publik akan menjadikan budaya pembatalan sebagai dasar dari sanksi sosial.
Selain itu, cancel culture juga dapat membuat tokoh atau publik figur kembali mempertimbangkan konsekuensi dari pernyataan atau tindakan mereka.
Cancel culture juga dianggap sebagai upaya untuk mengungkap tindakan rasisme dan seksisme pada sebuah skandal.
Lebih lanjut, sebenarnya fenomena ini terjadi sebagai bentuk penghakiman publik untuk meminta pertanggungjawaban seseorang atas pernyataan atau perilakunya.
Bagaimana Fenomena Ini Berkembang?
Dikutip dari Pew Research Center, 22 persen dari warga Amerika Serikat (AS) menggaungkan cancel culture sebagai bentuk budaya pembatalan karier seorang tokoh publik, yang mulai berkembang pada tahun 2020 lalu.
49 persen di antara warga AS yang mengangkat cancel culture sebagai gerakan untuk menghilangkan status selebriti ataupun memberi penghargaan terhadap korban, menyebut tindakan itu adalah sebuah konsekuensi yang harus diterima si pelaku.
"Area paling umum dari argumen publik untuk menegur tokoh publik di media sosial muncul dari perspektif orang-orang tentang menghakimi atau sebaliknya mencoba membantu korban," tulis pernyataan Pew Research Center dalam artikel yang tayang pada tahun 2021 lalu.
Bagaimana Contoh Cancel Culture?
Terdapat banyak skandal atau kasus yang melibatkan seorang publik figur hingga selebritis yang memicu terjadinya cancel culture.