Mitos atau Fakta? Pandangan Ibnu Rajab al Hanball Tentang Malapetaka Pernikahan di Bulan Safar

Photo Author
- Rabu, 5 Juni 2024 | 10:52 WIB
Ilustrasi - Mitos seputar bulan Safar (Foto: genmuslim.id / dok: instagram @ittihadlirboyo)
Ilustrasi - Mitos seputar bulan Safar (Foto: genmuslim.id / dok: instagram @ittihadlirboyo)

GENMUSLIM.id - Dalam kalender Qamariyah, Safar merupakan urutan bulan kedua. Diyakini oleh masyarakat Arab sebagai bulan yang membawa malapetaka, kesialan, dan hal negatif lainnya.

Dari zaman dahulu bahkan hingga sekarang, tidak sedikit beredar mitos tentang makna negatif bulan Safar.

Mitos paling santer menjadi perbincangan di kalangan masyarakat sangat melekat seperti munculnya marabahaya saat melangsungkan hajatan.

Baca Juga: Lima Macam Sedekah yang Bisa Dilakukan Selama Menunaikan Ibadah Haji

Mitos dikalangan masyarakat bahwa bulan safar adalah bulan malapetaka atau bulan terjadinya banyak kesialan.

Bahkan banyak yang percaya jika seseorang mengadakan hajatan pernikahan di bulan safar akan mengalami kesialan dalam perjalanan rumah tangganya.

Dikutip GenMuslim dari instagram @ittihadlirboyo, tanggapan ulama untuk menepis mitos tersebut, menukil pendapat Ibnu Rajab al Hanball dalam salah satu kitabnya yang berjudul Lathaiful maarif.

Adapun artinya adalah: menentukan terjadinya kesialan pada zaman tertentu bukan zaman lainnya seperti menentukan bulan Safar atau bulan bulan lainnya adalah tidak benar.

Ibnu Rajab tidak membenarkan mitos tersebut karena semua bulan adalah makhluk Allah SWT yang di dalamnya mungkin terjadi sebuah kebaikan atau kesialan.

Baca Juga: Tidak Mampu Naik Haji, Lakukan 3 Amalan yang Setara dengan Ibadah Haji dan Umrah

Bahwa semua yang terjadi atas kehendak Allah SWT seperti yang tercantum dalam surat al Hadid yang artinya: setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis dalam kitab lauh mahfuz sebelum Kami mewujudkannya.

Sungguh, yang demikian itu mudah bagi Allah, Quran surat al Hadid 57: 22.

Bahkan Ibnu Rajab menyatakan bahwa barometer untuk menentukan apakah zaman itu baik atau tidak adalah melihat pada perilaku diri sendiri.

Beliau mengatakan yang artinya: setiap zaman yang orang mukmin menyibukkannya dengan ketaatan kepada Allah.

Maka merupakan zaman yang diberkahi dan setiap zaman yang orang mukmin menyibukkannya dengan bermaksiat kepada Allah, maka merupakan zaman kesialan atau tidak diberkahi.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Elison Parsaulian Nainggolan

Sumber: Instagram @ittihadlirboyo

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Terpopuler

X