GENMUSLIM.id - Hukum puasa Ramadhan adalah hal wajib yang harus dijalankan oleh seluruh umat islam.
Tetapi mencari nafkah untuk keluarga pun sama wajibnya bagi seorang kepala keluarga, lantas bagaimana hukum puasa Ramadhan bagi para pencari nafkah yang mengharuskan mengeluarkan tenaga ekstra dalam bekerja.
Oleh karena itu terkadang sejumlah orang pada profesi tertentu merasa berpuasa akan mengurangi tenaga yang diperlukan. Mereka adalah orang-orang dengan pekerja berat, lantas bagaimana hukum puasa Ramadhan untuk mereka ?
Pertama yang harus kita pelajari terlebih dahulu adalah mengenai syarat-syarat boleh membatalkan Puasa.
Dimana dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin,Sayyid `Abdur Rahman bin Muhammad bin Husain bin `Umar al-Masyhur menjelaskan bahwa pekerja berat tidak diperbolehkan membatalkan puasanya kecuali memenuhi 6 syarat berikut:
- Pekerjaannya tidak bisa ditunda sampai bulan syawal.
- Tidak bisa dikerjakan di malam hari. Atau bisa dikerjakan di malam hari akan tetapi akan mengalami kerugian, seperti menimbulkan rusaknya hasil panen.
- Terjadi masyaqqot (kelelahan) pada waktu melakukan pekerjaan.
- Di Malam hari tetap wajib niat, di pagi hari berpuasa baru setelah benar-benar menemukan masyaqqot (kepayahan) boleh berbuka/membatalkan puasanya.
- Saat berbuka diniati melakukan keringanan hukum syariat.
- Bekerjanya tidak dijadikan tujuan atau membebani diri di luar batas kemampuan agar dapat keringanan berbuka puasa.
Dalam hal point yang menerangkan perihal ‘masyaqqot’ atau kelelahan ada beberapa perbedaan pendapat sebagai berikut:
- Masyaqqot yang membahayakan terhadap dirinya seukuran diperbolehkannya melakukan tayammum atau sholat dengan duduk.
- Masyaqqot yang setara atau bahkan lebih dari masyaqqotnya puasa dalam bepergian menurut Imam izzuddin bin abdissalam.
Jika diambil dari penjelasan Imam Nawawi Al-Bantani dalam Nihayatuz Zain fi Irsyadin Mubtadi’in ada beberapa penjelasan spesifik yang disampaikan
Di mana beliau juga sebelumnya menjelaskan terlebih dahulu bagaimana status wajib puasa bagi orang sakit.
Menurut penjelasan beliau kondisi pekerja berat akan diukur dari keadaan orang sakit, dilihat dari sejauh mana tingkat kesulitan yang dialami keduanya.
“Ulama membagi tiga keadaan orang sakit (dalam hal puasa). Pertama, kalau misalnya penyakit diprediksi kritis yang memperbolehkan melakukan tayammum, maka penderita makruh untuk berpuasa. Ia diperbolehkan tidak berpuasa.
Kedua, jika penyakit kritis itu benar-benar terjadi, atau ada dugaan kuat terjadi kritis, atau kondisi kritisnya dapat menyebabkannya kehilangan nyawa atau menyebabkan disfungsi salah satu organ tubuhnya, maka penderita haram berpuasa. Ia wajib membatalkan puasanya.