Namun, ketidakberanian untuk melamar masih menyelimuti hatinya.
Hingga lamaran kedua datang dari sahabat Umar bin Khattab, yang ternyata juga ditolak.
Hati Ali terombang-ambing antara keinginan melamar Fatimah dan ketakutan karena merasa tak setara dengan sahabat mulia seperti Abu Bakar dan Umar, baik dari segi jihad maupun harta.
Sebelum Ali bin Abi Thalib memantapkan hatinya, sahabat lain datang melamar, yaitu Abdurrahman bin Auf, yang juga tak bisa diungguli oleh Ali.
Barulah ketika lamaran ini juga ditolak, Ali bin Abi Thalib memantapkan hatinya menuju perjumpaan dengan Rasulullah.
Ketika Ali berada di hadapan Rasulullah, beliau bertanya, "Apa yang membawamu kemari, wahai Ali?"
Baca Juga: Pandangan Agama Islam tentang Ketergantungan: Mengatasi dan Memahami Perilaku yang Merusak
Ali menjawab, "Ya Rasulullah, aku hendak meminang Fatimah."
Rasulullah tersenyum, memberitahukan bahwa Fatimah Az Zahra selalu menolak lamaran yang datang, sehingga Ali juga harus menunggu jawaban.
Rasulullah kemudian menanyakan kepada Fatimah apakah ia menerima lamaran Ali.
Fatimah hanya diam, namun dalam kaidah yang menyatakan, "Diam adalah tanda persetujuan”.
Hati Ali begitu gembira. Pujaan hatinya telah menerima pinangannya.
Ketika Rasulullah menanyakan apakah Ali memiliki sesuatu untuk dijadikan mahar, Ali menyebut bahwa ia hanya memiliki baju zirah, pedang, dan seekor unta.
Rasulullah mengatakan bahwa seorang kesatria tak mungkin berpisah dengan pedang, dan unta itu pasti diperlukan untuk mengairi tanaman.
Sehingga Rasulullah memerintahkan Ali untuk menjadikan baju zirahnya sebagai mahar.