Baca Juga: Turkmenistan U23 Takluk! Timnas Indonesia U23 Lolos ke Putaran Final Piala Asia U23 2024
Bagaimana aku tak naik pitam usai semua yang terjadi, anak-anak mencuri kebun dan merusak semua hingga cabe-cabe itu gagal panen. Mereka mengambil ubi dan pisang untuk dibakar.
Saat aku memarahi mereka dan datang kelompok ibu-ibu yang meneriaki aku “muslimah! Keluar!” aku yang memang harus menggunakan baju panjang, kerudung dan kaos kaki menjadikan lama untuk keluar.
Ini seperti cerpen tragedi piring tanah liat melayang hampir mengenai kepala.
Piring tanah lit itu peninggalan nenek.
Tinggal 10 dan kolektor suka sekali menawar mahal, tetapi tidak ku iyakan. Karena berbagai hal, menyebabkan piring itu hanya ku taruh di meja depan.
Baca Juga: Konektivitas Digital dan Kesehatan Mental: Apakah Media Sosial dapat Menyebabkan Depresi?
Mereka masuk dengan paksa seperti preman, menghardik aku dan mengungkit pembayaran mereka berupa uang kapitan Pattimura satu dan berwarna ungu satu.
Ada yang menggunakan tokoh proklamasi, tetapi pasti dengan embel-embel untuk “lima orang ya”.
Seketika aku murka dengan cara mereka menjerit kepada aku muslimah, tetapi seperti memburu babi.
Mereka kalap hingga mendorong ku ke pojokan, beruntung aku yang telah babak belur ini segera diselamatkan oleh pak kepa desa yang diajak warga yang melihat.
Badan enam orang ibu itu selaku algojo yang siap eksekusi, dua di antaranya memang kurus, tetapi aku tahu, mereka mampu mengangkat dua pohon pisang sekali angkat.
Melihat warganya dianiaya, Pak Kepala Desa segera mengambil tindakan tegas untuk mengadili semuanya.
Aku memutuskan membawa perkara ke polisi, tetapi orang-orang menganggap aku tidak sesuai dengan muslimah, katanya dendam-an dan mudah marah.