Sungguh, beberapa hari sebelum kesyahidannya, aku ingin menemuinya dan memastikan dirinya baik-baik saja.
“Izinkan aku bertemu denganmu, aku akan datang ke rumahmu.”
“Tidak, sebaiknya kita tetap di rumah masing-masing. Kondisi saat ini sangat berbahaya, aku ingin kau tetap aman di tempatmu. InsyaaAllah kita akan segera bertemu.”
Aku kembali tersenyum mengingat percakapan kita, perang ini membuat pernikahan kita semakin tertunda.
“Aku segera menghampirinya ketika aku mendengar kabar kesyahidannya. Dan aku dapati dirinya tersenyum, maka aku akan tersenyum.”
Pria muda ini kembali mengisahkan betapa ia sangat bangga dengan kekasihnya yang seorang dokter gigi dan baik agamanya.
“Peralatan prakteknya akan aku jadikan kenangan untuk diriku. Aku tahu dia kini telah berada di tempat yang terbaik dari pada di sisiku. Maka, aku akan berbahagia.”
Katanya penuh dengan senyuman dan kelapangan hati setelah memakamkan sang kekasih bersama dengan ayahnya.
Ada terlalu banyak kisah perpisahan yang terjadi selama perang terjadi bahkan sebelum cinta mereka bersemi.
Cerpen ini bukanlah semata karangan untuk meromantisasi perang, namun kisah nyata yang membuktikan bahwa mereka pun berjuang untuk terus hidup selayaknya semua manusia di dunia.
“Aku akan kembali jatuh cinta padamu di surga kelak, tempat dimana tidak ada lagi perpisahan dan air mata.” ***
