GENMUSLIM.id - Terkadang kita memang tidak bisa menilai buku hanya dari sampulnya saja, orang yang sikapnya dingin seperti kulkas bisa saja ternyata memiliki sisi lain yang manisnya melebihi gula kapas.
Memang tampilan luar adalah yang pertama kali menarik perhatian, tapi tak bisa dipungkiri bahwa apa yang ada di dalamnya justru menyimpan lebih banyak rahasia, seperti Kei yang dulu kukenal dingin.
Angin sore ini memang membuat candu, anak rambutku bergerak-gerak menggelitik. Bias merah matahari yang hampir tenggelam di barat membuatku kembali pada bingkai kenangan beberapa waktu lalu. Tentang bagaimana aku melihat Kei sebagai manusia, yang begitu indah.
“Nih!” Ia meletakkan segelas cokelat hangat di atas meja begitu saja, sebelum beralih untuk duduk di bangku yang berhadapan denganku, meski ia tak benar-benar duduk menghadapku. Kei menyeruput pelan kopi hitam di cangkirnya.
“Nggak panas?” tanyaku penasaran.
“Tadi udah ditiup sambil jalan ke sini,” singkatnya.
Aku urung meneguk minumanku, pemandangan ini sayang sekali untuk dilewatkan. Sinar senja yang menyorot dari sisi kanannya membuat sebagian rambut di dahi Kei bersinar keemasan.
Bibir tipisnya memerah dan basah karena terus bersentuhan dengan kopi yang masih menguarkan asap, hidung kecilnya yang mancung, jam tangan hitam yang melingkar di tangan Kei juga sangat kontras dengan kulitnya yang putih. Oh Tuhan, bagaimana aku bisa terlambat mengakui keindahan ciptaan-Mu ini.
###
Tiga bulan yang lalu, minggu kedua di kelas sebelas. Aku baru saja menapaki anak tangga terakhir menuju ruang kelasku di lantai dua. Alisku refleks bertaut saat melihat kerumunan yang saling berkasak-kusuk di depan kelas, tepat di hadapan kertas berisi daftar nama siswa penghuni kelas XI IPA 1 yang baru.
“Keira!”
“Ya?”
“Sini, buruan!” seru Tania.