Lewat lukisan indah di hadapanku, aku bisa merasakan kehadiran Bapak. Tanpa sadar air mataku jatuh dengan tiba-tiba. Aku menangis.
Seseorang mengusap punggungku pelan dan membuatku melihat sosok perempuan yang sudah tak lagi muda dengan senyuman hangat menatap wajahku. Itu Ibu.
"Lagi kangen Bapak, ya?"
"Banget, Bu. Galuh selalu kangen, Bapak. Ibu enggak kangen, Bapak?"
Perempuan itu kembali tersenyum dan kini dia melihat lukisan buatan Bapak.
"Dalam hidup Ibu, enggak ada satu hari pun yang ibu lalui tanpa merindukan bapakmu. Selalu. Rindu itu selalu ada dan enggak pernah hilang."
Aku menatap wajahnya yang tak lagi muda itu, sudah mulai ada beberapa kerutan di matanya. Namun, itu tidak membuat Ibu kehilangan kecantikannya. Dia tetap wanita cantik di mataku.
"Tadi di tempat kerja Galuh lihat teman yang diantar bapaknya dan dipeluk bapaknya sebelum masuk kerja. Galuh cuma sedikit iri dan jadi rindu, Bapak." Aku bercerita begitu saja pada Ibu.
"Salah, ya, Bu? Kalau Galuh iri dan pengen merasakan apa yang teman Galuh rasakan?"
Ibuku mengusap punggungku lagi lalu memegang pipiku dengan lembut. Ditatapnya wajahku lekat-lekat.
"Bapakmu selalu suka dengan bunga teratai. Dia bilang hidup itu seperti bunga teratai yang meskipun hidup di lingkungan kotor, di perairan yang enggak baik, tetapi teratai tetap tumbuh dengan baik dan memberi keindahan di mana pun dia berada." Ibu berhenti sejenak melihat ke arah lukisan Bapak.
"Artinya, meskipun kita hidup dalam keadaan sulit dan tidak nyaman, kita tetap harus berjuang dan bertumbuh juga memberi kebaikan untuk orang-orang di sekeliling kita," ucapnya demikian.
Aku terdiam mendengar ucapan Ibu tentang Bapak yang selalu berhasil membuat hatiku tersentuh.