Bapak tersenyum dan menepuk pundakku pelan.
"Bapak sama ibu enggak akan pernah berpikir begitu. Apa pun yang terjadi kalian tetap anak-anak kami. Kamu enggak perlu jadi juara atau dapat nilai tertinggi, cukup bertanggungjawab pada diri sendiri dan orang lain. Itu lebih dari cukup."
Bapak menatapku lekat-lekat, tidak pernah aku melihatnya benar-benar seserius ini.
"Laki-laki bukan cuma harus berani, Ling. Tapi dia juga harus bertanggungjawab atas dirinya sendiri dan orang lain. Ketika kamu punya tanggungjawab pada dirimu sendiri, kamu akan melakukan apa pun sebaik mungkin semampu yang kamu bisa. Begitu pun tanggungjawab pada orang lain, keluarga misal. Kamu akan melakukan apa pun untuk membahagiakan keluarga kamu. Begitu laki-laki seharusnya."
Kata-kata Bapak membuat aku tertegun. Mengobrol dengannya selalu membuatku kadang merasa takjub, kadang juga merasa tertohok dan tersindir habis-habisan. Meskipun begitu aku selalu menyukainya.
"Kalau kita berani tapi kita enggak bertanggungjawab, Pak?"
"Itu artinya kamu enggak berani, tapi pengecut. Karena berani dan bertanggungjawab itu enggak bisa dipisahkan, kalau kamu berani memilih melakukan sesuatu kamu juga harus bertanggungjawab atas pilihan dan perlakuan kamu itu. Kalau salah satunya hilang sama aja kayak pakai baju tapi enggak pakai celana. Bukannya bikin malu?"
Aku tertawa pelan dan Bapak pun ikut tertawa. Benar juga. Jelas bikin malu kalau pakai baju, tapi tidak pakai celana. Namun, ini bukan soal baju dan celananya, tapi soal pesan-pesan yang Bapak sampaikan.
Baca Juga: Ulasan Buku Roger Housden, Mencari Rumi: Fabel Tentang Pencarian Arti Kebahagiaan dan Cahaya Hati
Berbicara dengannya selalu membawa energi baru yang membuatku merasa beruntung mempunyai kesempatan itu.
Aku melihat Bapak sebagai figur kepala keluarga, ayah, juga teman. Semua itu ada pada dirinya. Sosok pekerja keras dan bertanggungjawab pada keluarga bukan hanya jadi lelaki berani.
Di mataku meskipun Bapak bukan seperti orang-orang kaya di luar sana, atau lebih tepatnya meskipun keluargaku bukan keluarga berada. Tapi aku merasa kehadiran Bapak dan pesan-pesannya itu, lebih berharga daripada kemewahan.
Pesan-pesan Bapak dan obrolan hangat setiap malam adalah kekayaan yang mungkin tidak akan aku dapatkan di mana pun selain di rumah ini.