“Seharusnya kau tidak mencontek. Aku mengerjakan dengan susah payah, Aina,” jawab Aini masih belum ikhlas.
Rahmi mengambil kedua tangan anaknya, disatukan tangan keduanya dalam genggaman.
“Aini, perbuatan Aina memang salah. Namun, dia sudah meminta maaf, maka kau harus memaafkannya.” Rahmi memberikan saran dengan suara lembutnya.
“Tidak bisa, Ibu. Aku tidak ingin memaafkannya,” jawab Aini.
“Lalu, apa kau akan membenci saudaramu seumur hidup? Apa kau rela melihat Aina merasa bersalah selamanya? Apakah perilaku itu sesuai dengan ajaran Islami?” tanya Rahmi.
“Tidak, tetapi dia memang harus merasa bersalah,” cicitnya.
“Aku mencontek karena aku tidak bisa mengerjakannya. Aini, aku memintamu mengajariku waktu itu, tetapi kau mengabaikanku,” kata Aina dengan suara pelan.
Mendengar penuturan Aina, sontak Aini tertegun. Ternyata perilaku salah Aina ada kontribusi dari dirinya.
Andai saja ia mengajari Aina, mungkin jawabannya tidak akan dicontek. Aina bisa saja mengerjakan soal ujian seorang diri tanpa perlu mencuri jawabannya.
“Maaf, Aina. Aku tidak bermaksud mengabaikanmu.” Aini berujar penuh sesal. “Aku memaafkanmu dan aku harap kau juga memaafkanku,” lanjutnya.
“Tentu saja aku memaafkanmu! Terima kasih juga kau sudah menerima maafku,” sahut Aina.
Baca Juga: Cerpen Anak: Maya dan Jejak Pengetahuan