Oleh karena itu, ketiga kaidah ististna di atas bukannya berlaku untuk mustatsna-nya, melainkan untuk keempat isim istitsna.
1. Bila kalimatnya sempurna dan positif, maka isim istitsna wajib manshub, mustatsna wajib majrur.
2. Bila kalimatnya sempurna dan negatif, maka boleh menghukumi isim istitsna sebagai badal ataupun manshub dengan adat ististnaa, mustatsna tetap wajib majrur.
3. Bila kalimatnya negatif dan tidak sempurna, maka I’rab
isim ististna mengikuti ‘amilnya, mustatsna tetap wajib majrur.
Khusus سِوَى dan سُوَى karena diakhiri alif maqsurah (ى) maka tidak terlihat perbedaannya ketika marfu, manshub, dan majrur karena sama-sama dalam keadaan aslinya
Pengecualian dengan خَلَا ، عَدَا ، حَاشَا
Bila istitsnanya menggunakan tiga adat istitsna di atas, maka boleh menjadikan mustatsnanya manshub atau majrur.
Bila majrur, maka ketiga adatul istitsna ini dianggap sebagai huruf jar.
Sedangkan bila manshub, maka ia dianggap
fi’il dan mustastsna sebagai maf’ul bih.
Hal ini dikarenakan tiga adat istitsna di atas kadang dianggap huruf jar dan kadang dianggap fi’il.
Itulah penjelasan tentang istitsna, semoga dapat dipahami.***