GENMUSLIM.id - Dilansir dari berbagai sumber terdapat suatu penelitian menunjukkan bahwa ibu di Indonesia yang mengalami baby blues mencapai 50-70 %. Sementara Journal of Nursing Research membuktikan jumlah ibu yang mengalami postpartum depression mencapai 10-20 %. Angka ini membuktikan bahwa setiap ibu di Indonesia mengalami baby blues dan postpartum depression.
Baby blues dan postpartum depression merupakan sebuah gangguan yang berasal dari perubahan hormonal yang berkaitan dengan kehamilan dan melahirkan. Akan tetapi, pada kasus baby blues, ibu hanya akan mengalami gangguan ini selama kurang dari satu bulan. Sementara pada kasus postpartum depression, ibu akan mengalami gangguan ini lebih dari 3 bulan selayaknya gejala depresi pada umumnya. Ini membuktikan bahwa depresi pada perempuan pasca melahirkan itu nyata, bukan mengada-ada, bukan untuk manja, bukan manja atau gampang terbawa perasaan karena alasan adaptasi dalam memahami peran mengurus bayi.
Mengurus anak mungkin bisa menjadi suatu kebiasaan. Kebiasaan untuk menyusui, kebiasaan untuk memandikan bayi, memasang popok, memberi makan, hingga menggendong kemana-mana. Sehingga kebiasaan mengurus anak dapat meningkatkan kemampuan orangtua dalam mengurus anak. Hal ini dibuktikan dalam Jurnal ilmiah Sociological Demography Press bahwa kualitas ibu dalam mengasuh anak bisa meningkat dan stabil setelah lahirnya anak kedua atau ketika ibu telah mengasuh dua balita secara bersamaan.
Berbeda dengan mengurus anak, mengasuh anak bukan sekedar menyelesaikan pekerjaan ganti popok, memberi makan, dan menggendong melainkan juga hubungan emosional. Inilah alasan mengapa baby blues bahkan postpartum depression tetap saja terjadi pada para ibu, khususnya di Indonesia dengan budaya patriarki yang masih melekat.
Ini membuktikan bahwa mengasuh bukan persoalan pemahaman peran saja, melainkan betapa pentingnya dukungan lingkungan untuk para ibu setelah melahirkan, terutama ayah. Sebab, depresi ini ternyata tidak hanya berdampak buruk pada ibu, namun anak juga dapat mengalami depresi yang sama.
Dari beberapa temuan penelitian, postpartum depression ini ternyata dipicu oleh berbagai hal termasuk stres pengasuhan anak, kepuasan perkawinan, dan peristiwa kehidupan yang penuh tekanan. Namun kelelahan dan gangguan hormonal pasca melahirkan yang begitu memberatkan bagi para ibu tentu membutuhkan lebih banyak sumber daya dukungan dari orang-orang terdekat, seperti ayah.
Bussa dalam Jurnal Sains Psikologi mengungkap hal ini juga dapat dipicu oleh buruknya kesadaran ayah tentang letak tanggung jawab mengasuh anak. Motivasi ayah untuk terlibat dalam pengasuhan anak masih didasari oleh keadaan ibu yang sedang berhalangan untuk mengasuh. Jadi, ibaratnya para ayah mungkin hanya akan berpikir "selagi ibunya masih ada, kenapa harus saya?" Ungkapan retoris ini bahkan muncul di cuitan para bapak-bapak di media sosial. Dibumbui dengan mengagung-agungkan peran ayah sebagai pencari nafkah dan kepala keluarga, menunjukkan sejauh mana kesejahteraan ibu di Indonesia begitu memprihatinkan.
Kenyataan ini sejalan dengan adanya data dari Kumparan bahwa Indonesia merupakan negara fatherless dengan budaya patriarki. Di Indonesia, ibu melahirkan akan tetap bertanggung jawab terhadap pengasuhan, tugas domestik, dan bahkan mengurus suami. Beban ganda ini bahkan tetap berlanjut sekalipun ibu harus bekerja 2 bulan setelah melahirkan. Sayangnya, bagi lingkungan dengan budaya patriarki, akan sulit menyadari peran ganda yang tidak manusiawi ini. Fakta ini memperkuat bukti tingginya tingkat baby blues dan postpartum depression di Indonesia.
Padahal, pengasuhan anak harus dilakukan oleh ayah dan ibu secara seimbang, terutama pada ibu pasca persalinan. Dukungan suami sangat penting dalam menjaga kondisi mental perempuan utamanya peran ayah juga penting untuk perkembangan sosial anak-anak. Karena konsep hidup berumah tangga ialah bergotong royong, saling menjadi pakaian satu sama lain, maka tak masalah jika istri berkehendak membantu meringankan pundak sang suami, seperti mengurus anak, mengatur rumah, hingga mencari nafkah.
Peran aktif ayah dalam pengasuhan tidak hanya meringankan beban istri, tetapi juga krusial bagi perkembangan anak. Ayah yang terlibat dalam rutinitas harian anak, seperti bermain, membaca buku, atau membantu pekerjaan rumah, membantu menumbuhkan rasa kepercayaan diri, kemandirian, dan keterampilan sosial pada anak. Keterlibatan ayah juga memberikan model peran positif bagi anak laki-laki dan perempuan, mengajarkan mereka tentang kesetaraan gender dan pembagian tugas yang adil. Dengan demikian, pengasuhan yang seimbang antara ayah dan ibu bukan hanya membantu kesejahteraan mental ibu, tetapi juga meletakkan fondasi yang kuat bagi tumbuh kembang optimal anak di masa depan, serta menciptakan dinamika keluarga yang lebih harmonis dan suportif.***
Sobat Genmuslim yang baik hatinya, ingin mendapat berita update setiap hari dari Genmuslim.id? Ayo gabung di Grup WhatsApp "GENMUSLIM MENYAPA", caranya klik link https://chat.whatsapp.com/Gj3J3Md9EoGBu8HvPgXXEZ, atau bisa gabung di Grup Telegram "GENMUSLIM NEWS", caranya klik link https://t.me/genmuslimnews kemudian join. Jangan Lupa install aplikasi WhatsApp atau Telegram di Ponsel.