Suasana kebatinan yang sama itu pulalah yang kemudian membuat Anies Baswedan didapuk sebagai Menteri Pendidikan di era Jokowi jilid 1.
Meski dua tahun kemudian, Jokowi mencopotnya.
Nah, mengutip dari tulisan Rafif Amir, seorang penulis buku berjudul “Masyumi, PKI, dan Politik Zaman Revolusi”, dan Sekjen BPP FLP, punya analisis yang menarik terkait pencopotan Anies Baswedan sebagai Menteri Pendidikan.
Menurutnya, modal dicopot oleh Jokowi itu dimanfaatkan oleh Anies Baswedan untuk berada di barisan oposisi. Ia merapat pada PKS, satu-satunya partai yang paling lantang mengkritik rezim.
Tak lama setelah itu, muncul kasus penistaan agama yang menyeret nama Ahok, salah satu kandidat terkuat DKI 1.
Nama Ahok pun redup. Sementara PKS membaca peluang itu untuk mengusung Anies Baswedan.
Bersama PKS dan Gerindra, Anies Baswedan melaju dan keluar sebagai pemenang.
Sebagai bagian dari oposisi, Anies Baswedan harus mencitrakan dirinya sebaik mungkin, totalitas, demi meraih hati para pendukungnya.
Ia yang semula dikenal nasionalis-liberal, harus mengubah wujudnya menjadi nasionalis-agamis. Dan Anies Baswedan, tentu saja berhasil.
Peran ini terus ia mainkan hingga pada laga Pilpres. Namun sayangnya, ia gagal. Padahal ia merasa sudah dihajar habis-habisan; dicap radikal, orang Yaman, dan tuduhan-tuduhan lain yang membuat tak nyaman.
Menurut Rafif Amir, kini rasa-rasanya Anies Baswedan ‘merasa’ telah salah masuk kolam.
‘Bahasa tubuh’ tersebut sudah terpancar tatkala Anies Baswedan seperti sengaja ingin lepas dari tarikan PKS.
Ia biarkan PKS terkatung-katung nasibnya di PILKADA 2024 Jakarta. Ia ingin pisah, tapi secara diam-diam. Padahal saat itu PKS sudah mendeklarasikan dirinya bersama
Anies Baswedan bisa menyatakan diri bergabung dengan PKS dan menjadi kader, agar mempermudah PKS untuk mencari mitra koaliasi karena pada saat itu aturan partai pengusung di PILKADA 2024 masih merujuk pada jumlah kursi.