GENMUSLIM.id - Pertanyaan yang sangat menarik diajukan oleh seorang dosen dari Universitas Gadjah Mada (UGM) kepada Gus Baha mengenai dilema memilih pemimpin Muslim dengan kinerja buruk atau seorang non-Muslim dengan kinerja baik.
Gus Baha mengungkapkan bahwa pertanyaan tersebut bisa dianalisis dari sudut pandang fiqih, tetapi bukan fiqih internal Islam.
Contoh yang diberikan oleh Gus Baha adalah tentang seorang non-Muslim yang bisa menjadi pilot, sedangkan seorang kiai di UGM tidak bisa menjadi pilot.
Ini menunjukkan bahwa konteks Indonesia memiliki dinamika yang unik, dimana pemimpin harus mencerminkan suara mayoritas, yang sebagian besar adalah Muslim, namun juga harus memiliki kualitas yang baik.
Baca Juga: Inspirasi Gaya Rambut ala Rasulullah SAW yang Bisa Para Ikhwan Coba, Pas buat Persiapan Hari Raya!
Gus Baha menjelaskan bahwa dalam Islam, prinsip demokrasi sangat penting, di mana suara mayoritas harus diakui.
Namun demikian, memilih pemimpin bukanlah perkara sederhana. Misalnya, jika seorang pemimpin Muslim memiliki rekam jejak yang buruk,
Seperti pembunuhan atau perilaku yang merugikan masyarakat, maka tidak tepat untuk memilihnya hanya karena agamanya.
Sebaliknya, pemimpin non-Muslim yang memiliki integritas dan kinerja baik dapat menjadi pilihan yang lebih baik untuk kepentingan bersama.
Selain itu, Gus Baha juga membahas tentang pertimbangan etika dalam memilih pemimpin.
Misalnya, ia menyoroti bahwa memberi suap untuk memenangkan pemilihan adalah tindakan yang jelas-jelas dilarang dalam Islam.
Gus Baha menekankan pentingnya menjaga integritas dalam proses pemilihan, bahkan jika itu berarti menolak praktek korupsi yang umum terjadi.
Namun, Gus Baha juga menegaskan bahwa tidak semua situasi dapat diputuskan secara mudah.